Selasa, 26 Juli 2016

"Moments"

Aku adalah seorang pengembara yang sudah bertahun-tahun meninggalkan rumahku. Entah untuk alasan apa aku terusir dan harus pergi saat itu. Kenapa aku harus terusir pergi? Yang jelas kala itu aku belum menyadari jawaban atas pertanyaanku Berat memang meninggalkan rumah yang sudah menyamankanku. Tempat pertama ku merasakan berbagai perasaan. Tempat pertama ku bergelut dengan dinamika perasaanku. Kali pertama aku tertawa dan menangis. Berat, semua berat. Ketika harus meninggalkannya, aku berjalan terseok, tak tahu harus kulangkahkan kemana kaki ku ini. Aku hanya bisa berdiam diri di sudut kota, mengamati diriku sendiri melalui pantulan air hujan yang tergenang di jalan raya. Terkadang aku dapat mengamati diriku lebih dalam lewat pantulan kaca mobil yang berhenti didepanku. Aku bahkan dapat merasakan air mataku turun, bersama hujan yang semakin lama semakin deras. Malam itu aku takut, aku tak siap menghadapi dunia, sendiri.

Seiring berjalannya waktu, beratus-ratus purnama aku lewati, puluhan musim berganti, aku mulai terbiasa dengan petualanganku. Aku mulai meyakinkan diriku sendiri untuk melangkahkan ragaku. Sang pengembara ini berjalan menjauhi rumahnya, bertemu orang baru, kisah baru, dan akhirnya menemukan tempat singgah baru. Cukup nyaman. Penatku selama ini seolah terangkat. Segala malam dingin dan sengatan mentari seakan aku temukan penawarnya. Di sini, aku mulai menghidupkan diriku lagi. Hatiku tak lagi mati, pikirku tidak lagi kosong. Aku mulai mencintai tempat singgahku ini.

Namun, seperti yang sudah aku rasakan dari awal, tempat singgah ku ini memang hanya untuk bersinggah sejenak, hanya untuk sekedar melepas penat. Semakin lama, aku semakin merasakan suatu hal. Aku merasa terasing di tempat singgahku ini. Keramahan rumah tidak aku temukan disini. Yang ada, aku malah merasa tidak menjadi diriku sendiri karena harus menyesuaikan orang lain, budaya lain, juga kehidupan yang lain yang tidak menyamankanku. Aku mulai merindukan rumahku lagi. Aku mulai menyadari nya, satu persatu. Dahulu, aku tidak memperlakukan rumah ku dengan baik. Aku cukup egois. Aku memang nyaman di rumahku dulu, sungguh. Namun, aku tidak menyamankan. Aku bahkan jauh dari kata menyenangkan. Roda berputar, aku berusaha menyamankan, aku berusaha menyenangkan, namun kecewa yang aku dapatkan. Sungguh saat ini aku merindukan rumahku. Tidak ada hal lain yang aku inginkan selain rumahku sendiri. Tak henti-henti nya aku menyalahkan diriku sendiri setiap hari atas ke bodohanku dahulu. Mungkin dulu aku tidak cukup dewasa untuk mengerti arti nya hubungan timbal balik. Aku tidak cukup dewasa untuk mengerti bahwa hidup ini bukan lah hanya satu sudut pandang, dan itu sudut pandangku. Hidup ini tidak hanya tentang aku, namun juga tentang orang lain.

Diliputi kerinduan, dan diusik oleh kenangan juga kebahagiaan masa silam, pagi itu, di kala sang surya belum menampakkan dirinya, aku memutuskan untuk pergi dari tempat singgahku. Aku akan berjalan terus melawan arah ku ketika menjauh. Aku harus pulang! Aku harus menemukan rumahku lagi!

Menemukannya tidak terlalu sulit, tidak sesulit ketika aku harus meninggalkannya. Aku bahagia, sungguh. Akhirnya aku berdiri disini lagi. Di tempat dimana bahagia ku pertama tercipta, juga jenjang menuju dewasa ku berproses. Rumahku menyambutku hangat. Aku bernostalgi, melepas semua kerinduan, juga menyambut semua harapanku. Sungguh aku berharap masa-masa indahku disini terulang kembali. Aku berharap dapat berada disini selamanya, seperti apa yang sudah gagal aku lakukan di masa lampau. Pengembara ini akhirnya kembali pulang.

Yang terjadi justru berkebalikan. Semakin aku merasakannya, semakin aku merasa hampa. Harapanku tidak tersambut oleh rasa ku sendiri. Aku merasa, rumahku sudah jauh berbeda. Bertahun tahun aku meninggalkannya, bertahun-tahun aku berproses, berdialektika dengan hidupku, hingga aku menyadari, bahwa ini sudah berbeda, jauh berbeda. Aku bahagia karna aku menemukannya, tempat semua kenangan ku berada, namun saat ini aku tidak merasakan apa-apa lagi. Aku tidak menemukan kenangan itu bertransformasi menjadi nyata. Kenangan itu justru terus hidup di hati, tidak di realita. Sedari dulu aku mendambakan saat-saat itu, aku mendambakan aku merasakan lagi saat-saat itu. Namun ketika aku sudah berada dirumah, aku merasa hampa. Semua itu tak terasa lagi.

Mungkin sama seperti koala dalam cerita Raditya Dika. Ia mengembara, dan ketika ia pulang ke habitatnya, ia hanya terduduk menjadi seekor koala yang hampa karna rumahnya sudah tidak seperti ketika ia tinggalkan, pohon-pohon sudah ditebang habis, dan ia hanya bisa menghidupi kenangan akan rumahnya dalam hati.

Aku, sang pengembara, memutuskan untuk tidak menetap selamanya dirumahku. Aku memang memiliki beragam kenangan dan masa-masa indah, namun aku sadar itu bagian dari masa lalu yang tidak mungkin kita hidupi kembali. Maka dari itu, aku keluar dari rumah dan mencari tempat pemberentianku selanjutnya, yang aku harap selamanya. Memang terkadang aku masih terusik dengan kenangan ku tentang rumahku tersebut, namun aku mulai belajar untuk menikmati nya, dan benar benar menjadikannya kenangan masa lalu.

Kini, aku beranjak.

4 komentar: