Hidup, itu adalah pilihan. Setiap kita membuka mata, selalu saja adalah hal yang harus kita pilih. Apakah itu segera bangkit, atau kembali larut dalam kemalasan?
Di waktu itu, aku menemui pilihanku sendiri. Aku menemui jalan hidupku. Bukan, aku tidak sedang memilih pengharum apa yang akan aku pakai hari itu. Aku juga sedang tidak memilih pakaian apa yang aku kenakan. Jauh, lebih jauh dari itu. Besar, lebih besar dari itu.
Aku sadar, aku berada di zona nyaman. Sejak umurku masih satu hari, satu jam, bahkan satu detik, sejak saat itulah aku berada di zona nyaman. Sangkar emas, mungkin.
Melompat ke bertahun-tahun setelahnya, aku memiliki teman-teman yang baik. Aku berorganisasi dan sebercik keinginan kecil masa sekolah ku terwujud disini. Apalagi? Aku punya teman-teman se hobi. Dan tentu nya yang paling mendasar, aku berada di rumah. Dengan kedua orang tua yang selalu siap sedia setiap hari. Mengedepankan kepentingan keluarga diatas kepentingan sendiri. Aku punya fasilitas. Aku nyaman, aku tenang. Ini rumahku, Jogja adalah rumahku.
Namun seiring berjalannya waktu, yang aku alami tidak sesederhana itu. Ya, hidup itu pilihan dan aku terbawa kesalahan masa lalu ku dalam memilih. Hingga akhirnya? Aku tidak tau mau dibawa kemana hidupku. Oke, aku saat ini berada di zona nyaman. Tapi apakah semua seperti ini? Bagaimana jika suatu saat teman-temanku sudah berjalan masing-masing? Saat rumahku sudah tidak bisa menjadi rumahku lagi? Apakah harus seperti ini? Tidak. Seharusnya, aku mencari bekal.
Hidup adalah pilihan, dan dulu aku memilih untuk apatis. Tidak perduli dengan bekal dimasa depan. Hidup adalah pilihan, dan dulu aku memilih menjadi bodoh. Sampai beberapa waktu yang lalu aku membuat pilihan baru. Pilihan untuk meyakinkan diriku atas pilihan yang akan aku buat. Aku pernah mempunyai keinginan, aku pernah menjadi kan itu mimpi, aku pernah punya jalan mewujudkan keinginan dan mimpiku. Aku pernah ragu, kemudian, aku pernah yakin. Hingga suatu ketika, semua "pernah" ku hancur. Menjadi suatu ketidakpernah-an dan kemusnahan diriku.
Lalu aku kembali ke titik awal pilihan salahku. Aku kembali menjadi bodoh. Aku kembali terjebak di zona nyaman yang justru akan menyeretku mengikuti arusnya dan aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku kembali tidak mengerti apa yang ingin aku lakukan dalam hidup. Memang, hidup adalah pilihan. Dan aku memilih untuk menyesali pilihanku menjadi bodoh. Lebih jauh dari itu, aku terpaksa memilih terjebak. Terakhir, aku memilih untuk (ingin) hilang. Kemudian muncul lagi di keadaan yang seharusnya raga ku tempati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar