Sabtu, 17 Desember 2016

Aku Disini, Garuda ku!

Sembilan tahun silam, tepat nya 18 Juli 2007, menjelang sore kota Jogja mendadak sepi, aku yang saat itu masih SD pun merasakan aura yang berbeda dari sekolah ku tersebut. Para guru (terutama laki-laki) juga teman teman dekatku termasuk aku sendiri, tampak tergesa gesa meninggalkan sekolah. Ada apa di hari itu? Pertandingan ke tiga fase group Piala Asia 2007 yang mempertemukan Indonesia menghadapi Korea Selatan. 8 hari sebelumnya Indonesia membuat gempar Asia (atau bahkan dunia) ketika sepakan Bambang Pamungkas di menit 64 memanfaatkan tendangan Firman Utina yang membentur tiang gawang membuat seisi stadion Gelora Bung Karno berteriak dan menggemparkan Asia. Indonesia mengalahkan Bahrain 2-1. Indonesia memuncaki group, karena Korea dan Arab berbagi hasil imbang. Lima hari berselang, Indonesia yang bukan siapa-siapa, mampu menahan imbang Arab Saudi sampai menit 93, membuat pemain pemain menyerang Arab Saudi frustasi dengan pertahanan yang begitu kokoh dan perjuangan yang sangat luar biasa, sangat ksatria yang hampir saja membuat Indonesia mempertahankan puncak klasemen group, andai saja di menit akhir sundulan dari pemain Arab memanfaatkan tendangan bebas di sisi kiri pertahanan Indonesia tidak membobol gawang Jendri Pitoy. Kembali ke tanggal 18 bulan 7 tahun 2007, Indonesia cukup butuh hasil imbang untuk lolos ke 8 besar pertama nya di ajang Piala Asia.Sedekat itu Indonesia mampu mencatatkan sejarah, namun sepakan Kim Jung Woo di menit 34 seolah membuat penyelamatan penyelamatan yang di lakukan Markus Horison sebelum dan sesudah gol tersebut tak berarti, karena Indonesia gagal membalas nya. Perjuangan ksatria yang sangat harus diapresiasi dari Indonesia. Tajuk Ini Kandang Kita! Yang sangat gahar tersebut bukanlah hanya sekedar tajuk. Indonesia membuktikan, bahwa di kandang kita, bersiaplah menghadapi semangat juang yang luar biasa dari kami. Dan, saat dimana wasit meniup peluit akhir tanda berakhirnya pertandingan itu, tangis seorang bocah berusia 10 tahun yang 9 tahun setelahnya menulis artikel ini pun pecah. Saudara saudara nya berusaha menghibur, namun tangis itu sudah terlanjur pecah. Sakit rasanya melihat pahlawannya harus tertunduk lesu setelah berjuangan yang sebegitu besar nya. Sakit rasanya melihat nama besar Indonesia gagal melambung, setidaknya di level Asia.

Turnamen Indonesia pertama yang aku saksikan adalah Piala Tiger (saat ini menjadi AFF) 2004. Aku menjadi saksi bocah ajaib lulusan PON menjelma menjadi monster. Meningatkanku kepada sosok Cristiano Ronaldo yang secara ajaib mengantar Portugal menuju final Euro 6 bulan sebelumnya. Selain bocah lulusan PON tersebut, aku menyaksikan pemain bernomer 9 asal Indonesia berambut gondrong yang rajin mencabik-cabik pertahanan lawan. Juga pemain yang hampir menginjak senior bernomer 8 yang ketenangannya mampu melengkapi bocah lulusan pon dan pemain bernomer 9 tersebut. Mereka adalah Boaz Salossa, Ilham Jaya Kesuma, dan Ellie Aiboy. Aku masih ingat salah satu spanduk yang di bawa supporter Indonesia bertuliskan "3-4-3 maut, Boaz Ilham Ellie" Ya, kurang maut apa jika di setiap pertandingannya selalu menghadirkan kebahagiaan dan kepuasan kala gelontoran gol selalu tercipta? Bahkan tuan rumah group saat itu, Vietnam harus rela pulang berbungkus malu kala kebobolan 3 gol tanpa bisa membalas atas pasukan Garuda yang sedang sangat bergairah. Di pertandingan itu, aku merengek kepada kedua orang tua ku untuk di perkenankan mengikuti nonton bareng di salah satu rumah makan cepat saji di Jalan Sudirman, (namun tidak di perbolehkan). Aku juga masih ingat bagaimana gol dari Kurniawan Dwi Yulianto di stadion Bukit Jalil Malaysia saat semifinal leg ke 2 membuat ruang bahagia bocah berumur 7 tahun pecah. Lalu rentetan-rentetan gol ajaib lainnya pun tercipta hingga Indonesia mempermalukan lagi tuan rumah dengan skor 4-1. Namun, namanya bocah, belum tau rasanya kecewa karna timnas nya kalah. Aku hanya sedikit menyayangkan kekalahan atas Singapura di dua leg sekaligus. Ya namanya juga bocah yang baru pertama itu mengikuti turnamen Timnas Indonesia, tidak tahu bahwa 2 gelaran sebelumnya (tahun 2000 dan 2002 rakyat Indonesia juga di kecewakan. Aku yang masih berumur 7 tahun saat itu tidak merasakan sakitnya masyarakat Indonesia yang harus melewati tahun 2000-2004 dengan harapan kosong.  Namun yang jelas, satu cinta itu telah tumbuh. Mengakar kuat.

Setelah itu tidak ada lagi turnamen timnas yang aku lewatkan. Selain air mata pertama yang tertumpah untuk Timnas Indonesia di piala asia 2007 yang aku sebutkan diatas, ada juga mengamuknya Saktiawan Sinaga dengan gol-gol nya di piala tiger 2007 (yang sayangnya tidak membuat Indonesia lolos dari group) gol Nova di Rajamangala Stadium pada semifinal leg ke 2 AFF 2008 yang tidak cukup menyelamatkan Indonesia dari tersingkir, Menggilanya u19 ala Syamsir Alam, Alan Martha, Alfin Tuasalamony, hingga bangkitnya gairah Garuda tahun 2010 yang mengingatkan kita semua akan kegilaan tahun 2004. Irfan Bachdim dkk mendadak menjadi seleb, namun satu yang kita semua lupa, trofi AFF 2010 belum ada di tangan kita, namun kita sudah berpesta. Hasilnya, pesta kita dicuri negara tetangga yang di fase group kita bantai 5-1. Juga menggila nya pasukan Rahmad Darmawan di seagames 2011 yang sayangnya tidak membawa medali emas untuk Indonesia. Duet Tibo-Patrich Wanggai tidak bisa berbuat banyak lagi ketika bola tendangan penalti terakhir negara tetangga bisa ditepis oleh Kurnia Meiga namun tetap melaju masuk dan mengantarkan mereka meraih medali emas. Dua kali dalam dua tahun beruntun mereka berpesta di kandang kita.

Setelah itu, apa lagi yang aku lewatkan? Dualisme timnas menjelang AFF 2012 adalah hal yang konyol, dan aku tidak melewatkannya. Dengan keterbatasan pemain, coach Nil Maizar bersama pemain-pemain nya menjelma menjadi sosok yang luar biasa, mungkin manusia setengah dewa bagiku saat itu. Juga sikap gentle Bambang Pamungkas yang mau bergabung bersama timnas yang asli padahal saat itu ia bermain untuk klub yang berada di bawah kompetisi ilegal bentukan KPSI yang saya rasa sama sekali tidak ada niat untuk menyelamatkan sepakbola Indonesia. Gol tendangan bebas Andik Vermnsyah ala Ronaldinho yang mengantar Indonesia menang atas Singapura nyatanya tidak membawa Indonesia lolos ke babak semifinal karena lagi-lagi negara yang dua kali mempermalukan kita, kembali lagi mempermalukan kita, 2-0. Tapi bedanya kali ini mereka melakukan di rumah mereka sendiri. Apalagi yang aku lewatkan? Jangan ditanya momen manis Evan Dimas dkk di Timnas u19. Juara piala AFF U19. Air mataku menetes, haru, bahagia. Ini untuk pertama kalinya aku melihat Indonesia mengangkat piala. Tidak sampai disitu, 2 bulan berselang, tim yang sama mampu mengalahkan Korea Selatan 3-2. Evan Dimas menjadi bintang dengan Hattrick nya. Para pemain dan staff pelatih merayakannya dengan membentangkan bendera merah putih. Sepakbola Indonesia terlihat cerah bukan? Sayangnya jawabannya bertolak belakang. Rangkaian tur nusantara yang tidak manusiawi dan disinyalir hanya untuk keuntungan organisasi pun membuat para pemain berada di titik jenuhnya dan kemudian tambil anti klimaks di ajang yang sesungguhnya, Piala Asia U20. Apalagi? AFF 2014 yang gagal total? Atau pembekuan dan sanksi FIFA? Semua aku lahap.

Selama total sekitar 12 tahun aku menonton Timnas Indonesia, tidak pernah sekalipun aku meragukan mereka menjelang turnamen. Segala keterbatasan yang dimiliki tidak aku hiraukan, aku tidak realistis tapi aku kelewat optimis, aku terlewat percaya. Apakah ini yang mungkin membuat air mata tanda emosi selalu keluar seiring dengan wajah tertunduk para pemain Timnas Indonesia?

Air mata yang terakhir keluar beberapa jam yang lalu, Indonesia gagal mengulangi fairytale ala Leicester City atau Portugal. Menjelang turnamen bergulir, nada pesimis ada dimana-mana namun tidak di diriku. Aku selalu percaya, dan kepercayaan itu terbayar ketika tendangan voli Andik dan Lilipaly mengantar Indonesia ke semifinal, juga ketika penalti Boaz dan Manahati membuat Indonesia harus meninggalkan Vietnam untuk masuk ke panggung final. Semua terlihat sempurna ketika Hansamu Yama mengantarkan Indonesia memenangkan leg 1 Indonesia atas Thailand. Namun berubah beberapa jam yang lalu. Malam minggu yang seharusnya berakhir indah ini kemudian berubah tragis dan semakin tragis khususnya kepadaku yang selalu menaruh harap tinggi. Apakah aku tidak mampu menerima kekalahan? Usiaku sudah 19 tahun namun reaksiku tidak berbeda dan tidak pernah berubah sejak tangis di piala asia 2007. Mungkin. Aku hanya, terlalu lelah. Mungkin memang benar karna ekspektasiku selalu sama dari tahun ke tahun. Kepercayaanku selalu sama. Dan kecuali U19 nya Evan Dimas dkk, kekecewaanku selalu sama, berulang-ulang dan sepertinya tak pernah benar benar berlalu.

Tapi tenang, kekecewaan yang aku rasakan, bukan berarti kebencian yang aku sebarkan. Karena aku cinta kamu, Timnas Indonesia, ijinkanlah aku berharap kepadamu, menangis haru ketika kau berhasil, dan kecewa plus air mata sedih ketika kau gagal. Karena aku cinta kamu, saksikanlah aku yang selalu yakin kepadamu, selalu mementingkan kamu lebih daripada hal lain. Karena 12 tahun kurang lebih mendukungmu, aku selalu jatuh cinta, bahkan lebih dalam di setiap detiknya. Karena, aku tidak pernah bisa berhenti mencintaimu, dan tidak pernah sanggup membayangkan, hidupku tanpa kamu. Ada atau tiada piala, pastikan aku ada disisimu.


Kamis, 08 Desember 2016

Setangkai Purnama Yang Telah Layu

Mengapa kau melihat langit, kawan?
Jika kau tau hujan selalu mengkhianatimu, bukan?
Apakah itu mimpi yang coba kau cari?
Ataukah harap yang menatap malam dengan kelam yang mengusik diri?

Lalu coba kau dan aku rajut purnama
Agar malam tak lagi hambar dan menyedihkan
Seperti mengukir senyum kita dalam gelas kaca,
Peluh ini nyata, namun tak terasa, demi sebuah bahagia

Serupa pulang membingkai ruang
Selaras waktu kala kau tertawa padaku
Sungguh semua terhenti, sejalan hiasan malam yang kita upayakan
Juga rasa yang kita tanamkan untuk menyelami kelam

Lalu rembulan itu berkata
"Akan aku sembahkan purnama untuk kau yang mencinta."
Sembari aku melihat langit, rembulanku bersinar, malamku terang, dan aku tenang
Kepada angin aku bertanya, "Ada yang lebih bahagia dari dimensi waktu yang bertemu lalu merias mimpi baru?"

Namun tidak
Aku, kamu, waktuku, dan waktumu tidak cukup menjadi kita
Dan gundah, kemana kau bawa aku berlari?
Menghilang saja kau! Jangan ganggu purnama yang kita nanti!

Di akhir malam itu, aku menemukan karya terhebat dari sesosok kesedihan
Sembari aku menatap langit kembali. Namun berbeda, dimana rembulanku?
Hilang kah kau, bunga yang seharusnya lambang kebahagiaan?
Pada akhirnya aku sadari. Aku tak pernah dapatkannya. Karna sebelum menikmatinya, setangkai purnama kita telah layu, dan mati.

Oleh : Muhammad Reno Fandelika
Kamis, 8 Desember 2016. 21:07
Tentang Mimpi, dan kecewa.