Kamis, 08 Desember 2016

Setangkai Purnama Yang Telah Layu

Mengapa kau melihat langit, kawan?
Jika kau tau hujan selalu mengkhianatimu, bukan?
Apakah itu mimpi yang coba kau cari?
Ataukah harap yang menatap malam dengan kelam yang mengusik diri?

Lalu coba kau dan aku rajut purnama
Agar malam tak lagi hambar dan menyedihkan
Seperti mengukir senyum kita dalam gelas kaca,
Peluh ini nyata, namun tak terasa, demi sebuah bahagia

Serupa pulang membingkai ruang
Selaras waktu kala kau tertawa padaku
Sungguh semua terhenti, sejalan hiasan malam yang kita upayakan
Juga rasa yang kita tanamkan untuk menyelami kelam

Lalu rembulan itu berkata
"Akan aku sembahkan purnama untuk kau yang mencinta."
Sembari aku melihat langit, rembulanku bersinar, malamku terang, dan aku tenang
Kepada angin aku bertanya, "Ada yang lebih bahagia dari dimensi waktu yang bertemu lalu merias mimpi baru?"

Namun tidak
Aku, kamu, waktuku, dan waktumu tidak cukup menjadi kita
Dan gundah, kemana kau bawa aku berlari?
Menghilang saja kau! Jangan ganggu purnama yang kita nanti!

Di akhir malam itu, aku menemukan karya terhebat dari sesosok kesedihan
Sembari aku menatap langit kembali. Namun berbeda, dimana rembulanku?
Hilang kah kau, bunga yang seharusnya lambang kebahagiaan?
Pada akhirnya aku sadari. Aku tak pernah dapatkannya. Karna sebelum menikmatinya, setangkai purnama kita telah layu, dan mati.

Oleh : Muhammad Reno Fandelika
Kamis, 8 Desember 2016. 21:07
Tentang Mimpi, dan kecewa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar