"Halo" sapa mu sembari tersenyum. Aku sadar, aku dan kamu terpisah ruang, terpisah jarak ratusan kilometer. Namun, momen seperti ini akan selalu membuat ku merasa mendekap mu.
"Halo" Aku membalas sapa mu dengan lambaian tangan. Engkau masih tersenyum lebar, seakan malam ini hanya ada bahagia yang menghuni kamus mu. Lalu senyum itu... Aku hampir menangis melihat nya setelah beberapa kali putaran jam tak bersua.
Kita mulai membicarakan banyak hal, tentang pekerjaanmu yang melelahkan, contohnya. Tentang kamu yang setiap hari harus bangun lebih pagi dari umumnya manusia, dan pulang lebih larut, Atau tentang perusahaan yang aku kelola, yang setiap hari semakin menunjukkan progress positif.
"Namun keyakinanku bahwa aku memilikimu, lebih dari cukup untuk membuatku menyingkirkan letihku" Ujarmu di akhir cerita.Yang aku aamiini.
Aku juga tak dapat menghentikan senyum ketika kau diujung sana mulai memainkan gitar kesayangan. Gitar yang aku beri kepadamu sebagai kenang-kenangan ketika kita berpisah, setahun yang lalu.
"Mainin dong lagu favorit kita." Pintaku sembari mengambil gitarku dan tanpa menjawab kamu mulai memetik senar-senar itu, memberikan kedamaian di hati, juga rasa rindu yang semerbak membara.
"Kita ini sama ya, hafal banyak banget lagu, tapi kita gak bisa nyanyiin nya. Coba kalo kita berdua jago nyanyi, kita dah kayak Banda Neira atau Endah n Rhesa." Katamu suatu ketika, dan aku tertawa mendengarnya sembari mencubit pipi mu yang menggemaskan.
Maka jadilah malam itu kita berdua menyanyikan lagu favorit kita dengan fals, sangat fals. Namun, tiada yang peduli. Karena ini malam kita. Karena ini milik kita. Suara gitarmu ditambah melodi yang aku berikan melengkapi malam kita.
Namun, bagian favoritku adalah ketika kita berdua dilanda diam. Hanya kedua pasang mata yang bertatap. Mungkin lisan kita tidak mengucapkan kata, namun tatap ini berbicara lebih banyak dari yang mampu diungkapkan kata. Perlahan aku mendengar suara lagu-lagu penuh kerinduan dari seberang sana. Kamu memainkannya di laptopmu untuk mengisi keheningan kita.
Aku teringat jelas dan mungkin akan merekam momen ini seumur hidup. Ketika kamu duduk diatas tempat tidur memandangku, dan aku merebahkan diriku di sofa ruang tengah, memandangmu. Sekali lagi, aku ingin menangis. Merindukanmu.
"Kok diem aja?" Tanyamu sembari mengikat rambut, saat yang paling sempurna untuk mengambil gambarmu.
"Gak papa, aku suka liat kamu, aku suka liat senyum mu. Aku suka bagaimana teknologi bisa mendekatkan kita seakan kita gak pernah terpisah."
"Dasar cowok gombal." Jawabmu, lalu tertawa, aku juga. Meskipun aku tau, tawa diantara kita hanya untuk menutupi sendu.
Jarum jam sudah semakin menuju kebawah, sinar rembulan sudah meredup perlahan namun baik aku atau kamu tak ingin mengakhiri ini semua. Aku dapat melihat raut mengantukmu, namun itu sama sekali tidak dapat menutupi wajah cantikmu.
"Kamu tidur aja kalo ngantuk, sayang." Ujarku.
"Enggak mau, jarang-jarang kita punya waktu kayak gini." Jawabmu manja.
Lalu waktu berjalan cepat hingga adzan subuh mulai berkumandang, dan tidak ada lagi suara diseberang sana. Kau sudah terlelap, tentu saja. Karena tadi kau memintaku untuk menemanimu hingga terlelap dan aku sudah memenuhi itu. Aku meraba sosokmu pelan, meskipun terhalang layar ponsel. Jariku bergetar, menahan segala emosi yang berkecambuk. Oh Tuhan,...
"Selamat tidur, sayang. Tidur yang nyenyak ya didalam rasa aman dan nyaman mu karena kamu tahu ada orang yang mencintaimu sepenuh hati." Ujarku sembari memutuskan sambungan. Entah kapan kita akan berjumpa, namun aku tahu pasti hati kita selalu berpagut dan saling menghapus luka.