Datang lagi bulan Ramadhan, bulan penuh berkah untuk umat muslim dan mungkin bulan yang selalu diingat oleh orang yang tidak berkewajiban menjalankan nya. Ada sebuah tradisi menarik di dalam bulan Ramadhan itu sendiri yang membuat bulan ini begitu khas, yaitu buka bersama. Entah sejak kapan tradisi ini mulai ada, yang jelas setiap tahun saya selalu menikmati undangan-undangan buka bersama yang masuk melalui line atau media sosial saya yang lain. Namun, memasuki bulan puasa kali ini, post mengenai generasi wacana mulai menghiasi timeline berbagai media sosial saya. Memang saya tergelitik betul dengan post ini, didalamnya dijelaskan bahwa ada tradisi lain dibalik tradisi buka puasa bersama tersebut, yaitu tradisi wacana. Dimana, ketika didalam sebuah group ingin mengadakan buka puasa bersama, pasti ada ada saja yang meng iya kan, namun pada akhir nya membatalkan karena bertabrakan dengan jadwal nya. Hingga akhirnya mereka tidak jadi mengadakan buka puasa bersama. Generasi Wacana, mereka menyebut. Sebenarnya dalam kasus generasi wacana ini tidak hanya buka puasa bersama yang menjadi korban. Agenda seperti liburan bersama dan lain sebagainya pun hanya akan tenggelam dalam wacana.
Jika menyinggung tentang generasi wacana, saya berfikir bahwa generasi ku ini lah yang wacana, generasi digital yang lahir tahun 90 an-2000 an. Lalu saya berfikir kembali, apakah generasi sebelum generasi kami tidak terjebak dengan wacana? Tidak, sepertinya generasi wacana tidak dimulai dari mereka. Hingga menurut saya, semua ini bermuara pada satu hal. Perkembangan teknologi. Mengapa demikian? Mungkin kita bisa membuat perbandingan antara generasi wacana ini dengan generasi sebelumnya. Dengan perkembangan teknologi yang pesat, dengan di buat nya group di sosial media semacam Line atau WA, lebih dari 100 orang dapat mengobrol di dalam chat room tersebut. Tentunya, 100 orang tersebut memiliki ide berbeda, kegiatan berbeda, kesibukan berbeda. Jangankan 100 orang, 10 orang saja dalam satu group susah menyatukan waktu. Jika sudah begitu, tidak ada kata lain selain : wacana.
Hal ini tentu berbeda sekali dengan generasi tanpa smartphone, tanpa sosial media. Untuk mengadakan buber atau agenda lain, hanya segelintir orang yang merumuskan, lalu mereka menyebarkan berita itu melalui tatap muka. Yang tidak bisa silahkan tidak ikut, yang bisa diharapkan dengan sangat untuk ikut. Efektif, agenda tersebut akan terlaksana dengan baik.
Tentu saja kita tidak akan bisa menyalahkan sosial media seperti ini, apalagi perkembangan teknologi yang sudah sangat banyak membantu. Namun yang perlu diingat, melibatkan banyak orang dalam menentukan tanggal suatu agenda bukanlah hal yang efektif, apalagi hanya sebatas di group. Selamanya hal tersebut hanya menjadi wacana. Di jaman serba digital ini, alangkah lebih baik nya untuk merumuskan sesuatu terlebih dulu dengan melibatkan segelintir orang, baru hal tersebut diangkat kedalam suatu group. Tentu akan jauh lebih efektif. Karena tak selamanya kita harus terjebak dalam generasi wacana ini. Akan lebih bijaksana menyikapi dengan bertindak langsung daripada harus menyalahkan keadaan dan terjebak dalam ruang obrolan semu.
Sebuah blog yang berisi cerita-ceritaku, mulai dari yang fiksi, kisah nyata, hingga karya berbentuk puisi. Selamat membaca!
Rabu, 15 Juni 2016
15 Juni 2016
Oleh : Muhammad Reno Fandelika, 07:18
Pagi ini di tengah puasaku
Aku bermimpi menaklukkan bidadari
Terbaring pasrah akan kuasaku
Melewati malam seperti tidak akan ada pagi
Engkau begitu manis
Pahitnya, aku harus tersesat untuk menemui kamu yang menyambutku dengan senyum manismu
Engkau begitu dekat
Namun, apakah aku harus terus melewati lembah mimpi hanya untuk denganmu selalu?
Aku tahu ini melewati batas
Tapi apa kuasaku jika imajiku yang hadir
Menggabungkan harapan semu, realita, dan luka
Menghasilkan nafsu atas cinta, namun cinta tanpa nyawa
Tidak ada yang lebih menyakitkan selain terbangun setelah nyata nya harap
Aku merasakannya terlalu dalam
Aku menghayati nya terlalu syahdu
Hingga menara kecewaku menjulang terlalu tinggi
Jika memang ketidakmungkinan itu keniscayaan
Dan dalam bawah sadar itu kebahagiaan
Aku memilih tersesat didalamnya
Daripada terbangun dalam hampa dan kecewa
Pagi ini di tengah puasaku
Aku bermimpi menaklukkan bidadari
Terbaring pasrah akan kuasaku
Melewati malam seperti tidak akan ada pagi
Engkau begitu manis
Pahitnya, aku harus tersesat untuk menemui kamu yang menyambutku dengan senyum manismu
Engkau begitu dekat
Namun, apakah aku harus terus melewati lembah mimpi hanya untuk denganmu selalu?
Aku tahu ini melewati batas
Tapi apa kuasaku jika imajiku yang hadir
Menggabungkan harapan semu, realita, dan luka
Menghasilkan nafsu atas cinta, namun cinta tanpa nyawa
Tidak ada yang lebih menyakitkan selain terbangun setelah nyata nya harap
Aku merasakannya terlalu dalam
Aku menghayati nya terlalu syahdu
Hingga menara kecewaku menjulang terlalu tinggi
Jika memang ketidakmungkinan itu keniscayaan
Dan dalam bawah sadar itu kebahagiaan
Aku memilih tersesat didalamnya
Daripada terbangun dalam hampa dan kecewa
Jumat, 10 Juni 2016
Kotaku Bersamamu
Oleh : Muhammad Reno Fandelika, 10 Juni 2016 12:12
Gemerlap kotaku dan germelapmu
Seperti dua nyawa yang disatukan oleh Sang Pengasih untuk sebuah sempurna
Hingga kupasrahkan diriku terapung, kemudian tenggelam seutuhnya
Malam ini, Ia memberikan lukisan tangan terindah untuk hambanya;
Senyum mu, yang mengintip di balik lampu kota
Tatap mu yang dipenuhi bimbang namun tetap hangat, sehangat senja
Juga hatimu yang Ia titipkan untukku dengan sudut kota yang berteriak pelan namun merdu sebagai saksinya
Sosokmu dan kotaku sudah menjadi candu. seperti pujangga merayakan secangkir kafein dengan sebatang nikotin
Tutur mu diiringi senandung musisi jalanan adalah caraku bersyukur kepada Tuhan
Dan juga karna gerakmu didalam kehangatan seisi kota merupakan ingatan pertamaku terhadapNya
Aku jatuh cinta dengan kotaku dan kau didalamnya
Aku jatuh dalam romantisme kotaku seperti aku jatuh dalam pribadimu, bahkan lebih dalam
Karna tanpamu
Kotaku hanya akan mati dalam ingatanku
Gemerlap kotaku dan germelapmu
Seperti dua nyawa yang disatukan oleh Sang Pengasih untuk sebuah sempurna
Hingga kupasrahkan diriku terapung, kemudian tenggelam seutuhnya
Malam ini, Ia memberikan lukisan tangan terindah untuk hambanya;
Senyum mu, yang mengintip di balik lampu kota
Tatap mu yang dipenuhi bimbang namun tetap hangat, sehangat senja
Juga hatimu yang Ia titipkan untukku dengan sudut kota yang berteriak pelan namun merdu sebagai saksinya
Sosokmu dan kotaku sudah menjadi candu. seperti pujangga merayakan secangkir kafein dengan sebatang nikotin
Tutur mu diiringi senandung musisi jalanan adalah caraku bersyukur kepada Tuhan
Dan juga karna gerakmu didalam kehangatan seisi kota merupakan ingatan pertamaku terhadapNya
Aku jatuh cinta dengan kotaku dan kau didalamnya
Aku jatuh dalam romantisme kotaku seperti aku jatuh dalam pribadimu, bahkan lebih dalam
Karna tanpamu
Kotaku hanya akan mati dalam ingatanku
Langganan:
Postingan (Atom)