Pagi tadi sebuah pesan singkat masuk kedalam telepon genggamku. Sebuah sapaan sederhana namun menimbulkan gelombang tak tertahan pada setiap detak. Aku sempat mengira waktu berhenti dan memahami ketidaksiapanku sejenak, tapi jarum itu terus bergerak. Hanya dimensi pikirku saja yang terhentak.
Beberapa hela nafas kemudian aku telah siap dan aku membalas pesan singkat yang berisi sapa tanpa rasa. Aku tahu betul mana kata yang menyimpan letupan rasa dengan kata yang terpaksa terucap. Tak kusangka sapaan hambar itu berhujung pada sebuah pertemuan. Sekali lagi, pertemuan tanpa rasa karena ia terpaksa melakukannya. Barangku tertinggal padanya dan ia harus mengembalikannya. Ah, seandainya ia tahu kalau tak hanya barangku saja yang tertinggal, namun juga segenap perasaan, segenap kesenangan, segenap kesedihan, dan segenap asa. Semua itu masih ia dekap hangat di alam bawah sadarnya. Sayangnya, ke dalam mimpi pun dekapan itu seolah tak ingin ditampakkan. Maka mereka hanya apa-apa yang dilupakan oleh dia.
Maka setelah sekian lama, aku kembali bertemu dengan jatuh hati terhebatku. Jatuh hati yang pernah membuatku bermimpi tentang hari-hari yang indah, malam yang benderang, dan masa depan yang dipenuhi bola salju yang bercampur rajutan hangat kasih sayang. Jatuh hati yang membuat semua ambisi sendiri menjadi mati dan terganti jalan indah berdua. Jatuh hati yang membuat aku lupa pernah punya luka karena bersamanya aku temu bahagia. Jatuh hati yang melengkapi semua obsesi tentang kasih.
Sore tadi aku kembali menatap indahnya. Rambutnya sudah jauh lebih panjang dari kali terakhir mata kita bertemu. Senyumnya masih memenjaraku. Seolah aku lah satu-satunya manusia di muka bumi yang pantas dihukum dan tersiksa atas kata cinta. Tingkah lakunya masih anggun, seperti geraknya tercipta memang untuk menghemparkan angkasa beserta makhluk bernama lelaki di dalamnya. Ia tetap menjadi ia, wanita yang indah, yang pernah dan masih menghuni sela-sela rasa jauh dibalik sebuah aksara.
Sayangnya, sore singkat berusia 1 menit ku dan dia dipenuhi kepura-puraan. Dia pura-pura buta, tak melihat bahwa rasa yang aku punya masih ada dan sangat nyata. Sedangkan aku pura-pura tuli, tak mendengar hati yang menjerit-jerit masih mendambanya.
Entah sampai kapan aku jatuh dalam cintanya sehingga menjadi patah. Aku adalah seorang lelaki pecundang yang alih-alih melupakan, aku justru merubah jatuh hati terhebatku menjadi patah hati terhebat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar