Muhammad Reno Fandelika
Sebuah blog yang berisi cerita-ceritaku, mulai dari yang fiksi, kisah nyata, hingga karya berbentuk puisi. Selamat membaca!
Minggu, 09 Juni 2024
Kang Seulgi di Dalam Mimpi
Rabu, 22 Desember 2021
Aku Ingin Lepas dari Tali yang Terus Mengikat
Ada sebuah titik dalam hidup yang membuatmu tertambat. Entah sudah berapa kali jarum jam berputar, kamu selalu kembali ke titik itu. Tidak sendirian, namun ditemani berjuta pengandaian dan skenario dalam kepala. Semua hal yang terasosiasi dengan titik itu masih bisa kamu temukan. Cukup mudah bahkan. Akan tetapi, rasanya tidak pernah sama karena kamu menjalaninya dengan berbeda, tidak seperti yang kamu bayangkan. Tidak berangkat dari momen yang tepat dengan orang yang tepat.
Bagiku, titik itu terjadi ketika aku sedang menjalani masa KKN. Mungkin teman-temanku sudah bosan dengan cerita ini, ya mau bagaimana, aku tertambat pada masa itu. Puluhan lagu, belasan judul film dan seri, selalu membuatku kembali pada titik itu. Suatu masa di mana segala tanda tanya terjawab. Sebuah waktu saat keinginan-keinginan berwujud fantasi akhirnya tidak hanya sebatas mimpi. Orang yang tepat, dalam waktu yang tepat. Dalam hidupku, tidak ada lagi yang paling ideal selain 50 hari yang aku alami.
Banyak kertas kosong dan telinga yang telah mendengar betapa bodohnya aku saat itu. Namun, aku tidak akan pernah merasa cukup menuangkannya. Kamu masih ada, tempat yang menjadi latar kisah kita juga masih mengeluarkan bau tembakau di lereng Merbabu. Aku selalu bisa mengenangnya. Aku selalu bisa mengunjungi pedagang kaki lima yang menjajakan kelapa hijau yang kita nikmati suatu sore. Aku masih bisa pergi ke kota sebelah, ke sebuah pusat perbelanjaan dan bernyanyi sepuasnya di sebuah tempat karaoke. Bahkan, aku masih bisa melihatmu lewat berbagai macam kanal sosial media. Masih bisa. Tempatnya masih ada, kamu juga masih ada.
Sayangnya, kamu adalah orang yang sama dengan jiwa yang berbeda. Tempat-tempat itu adalah tempat yang sama dengan suasana yang hampa tanpa diisi kita-- aku dan kamu yang itu.
Aku masih tertambat. Bukan pada sosokmu, namun pada jiwamu yang waktu itu. Aku masih tertambat bukan atas dirimu, namun atas kenangan kita saat itu. Berapa kali juga aku coba rapikan benang yang kusut, simpulnya tidak pernah terurai. Karena kamu yang dulu hanya hidup dalam kenanganku. Kamu yang dulu hanya ada saat aku mengenang.
Aku sudah lama memahami ini, namun baru kali ini aku menulisnya dalam sebuah tanya. Lantas apa bedanya kamu yang waktu itu dengan sosok yang terkubur di bawah batu nisan?
Aku hanya bisa mengenang. Aku tidak akan pernah bisa kembali lagi bersamamu dan kenangan yang kau bawa mati.
Senin, 06 Desember 2021
It's a Wrap!
Senin, 03 Agustus 2020
Selasar Fakultasku, Tepat Tiga Tahun Lalu
Minggu, 26 April 2020
Sangkala (Sebuah Perjalanan)
Hari ini, aku akan ikut tur ke Eropa bersama salah satu travel agent. Untuk pertama kalinya aku bisa bepergian ke luar negeri dengan uangku sendiri setelah menabung dari pertengahan tahun. Namun, bukan itu alasan utama mengapa jantungku berdebar. Tur ini, iya tur ini adalah alasannya. Travel agent yang sekarang aku pilih, memakai seorang selebgram (selebriti instagram) sebagai daya tarik utamanya. Bukan hanya sekadar model iklan, namun ia juga akan ikut serta dalam tur yang aku ikuti ini. Dara Ramadhan, selebgram tersebut.
Aku sudah mengikutinya di segala platform sosial media sejak tahun lalu dan tidak henti-hentinya mengunjungi laman instagram atau twitternya. Menunggu ia update instagram story, membuat tweet, bahkan menonton setiap live nya. Memang ini bukan pertama kalinya aku seperti ini dengan selebgram. Sudah sejak masa kuliah setiap tahun aku berhalu. Entah itu youtuber, selebgram, artis pemula, semua sudah pernah aku haluin. Akan tetapi, Dara ini berbeda, Dara ini paling lama. Dara ini menjadi motivasi terbesar aku menjalankan bisnis minuman di Jogja dengan baik. Pergi ke gym dua hari sekali, serta menjaga pola makan. Sebagai tambahan, sejak aku mendaftar tur ini semangatku untuk memperbaiki bentuk tubuh bertambah berkali-kali lipat.
Dan inilah saatnya, ketika langkahku berhenti di kamu. Melihatmu dari dekat sudah cukup membuat lidahku tercekat, terpukau selama beberapa saat, tidak tahu kata apa yang harus aku ucap. Lalu terjadilah momen itu, ketika kamu memandangku sesaat, tersenyum, dan kembali mengobrol dengan fanboy mu yang lain. Aku yakin sekali, alasan semua lelaki mengikuti tur ini adalah kamu.
Setelah bertemu dengan tur leader, aku memilih menepi, tidak ikut bergabung dalam rombongan fanboy yang sibuk cari perhatian. Justru, aku merasa kasihan denganmu. Beberapa waktu lalu, ketika kamu tidak bisa tidur, kamu sempat bercerita di twitter bahwa kamu tidak terlalu nyaman dengan keramaian, kamu masih kagok harus mengobrol dengan banyak orang, dan harus berbicara di depan banyak tatapan mata. Namun kamu harus melakukannya karena tuntutan pekerjaan. Maka, mana mungkin aku tambah mengganggumu. Lalu lantas, untuk apa aku mengikuti tur ini jika tidak ingin cari perhatian? Entahlah, memandangimu dari kejauhan saja sudah cukup. Aku sudah biasa seperti itu ketika menyukai seseorang.
-----
Aku terbangun ketika pesawat mendarat di Bangkok. Memang sebelum sampai ke tujuan pertama di Eropa, Munich, rombongan transit terlebih dahulu di Bangkok. Waktu transit sendiri adalah 9 jam. Sebuah waktu yang sangat lama. Oleh karena itu, peserta tur diarahkan menuju pusat kota untuk berjalan-jalan ke mal dengan akses menuju kota dari bandara menggunakan kereta bawah tanah. Keren sekali. Di Indonesia memang MRT seperti ini sudah ada, namun baru satu jalur saja.
Kemudian, di sinilah aku. Berdiri sendiri di Siam Paragon Mall Bangkok. Aku tidak terlalu suka belanja, hanya melihat-lihat di beberapa store yang familier, sampai tiba-tiba seseorang berdiri di depan ku. Dara. Tentu saja kita tidak sengaja berpapasan, maka dari itu aku hanya tersenyum dan mengangguk lalu bertekad melangkah lagi tapi suara nya menahanku.
"Mera, ya? Mera Aksara?" Bagaimana bisa kamu tahu namaku? Oh kan kamu bisa liat di daftar orang yang mengikuti tur. Sialnya, pertanyaan sederhana itu membuat aku grogi parah.
"i-iya. Halo Dara, aku udah lama tahu kamu." Kataku akhirnya, malu-malu. Dia tertawa lalu menjawab, "Gue juga." aku tertawa, haha lucu sekali kamu. Eh tunggu... apa maksudnya?
------
Jogja, 11 tahun yang lalu.
Waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore. Pada jam-jam seperti ini, di sebuah sekolah dasar swasta sedang ramai-ramainya. Ada beberapa kegiatan ekstrakulikuler dilakukan. Ada juga rombongan ibu-ibu yang sedang bergosip ria menunggu anak-anaknya pulang. Di parkiran, mobil dan motor sangat padat, datang dan pergi silih berganti. Namun di sebuah sudut sekolah, seorang anak perempuan yang merupakan siswi kelas 4 SD di sekolah tersebut sedang menangis tersedu-sedu. Hari itu, ia tidak sedang mengikuti ekstrakulikuler apapun. Namun seperti hari-hari biasa, orang tuanya terlambat menjemput. Meski demikian, bukan itu alasannya menangis. Beberapa saat yang lalu ketika yakin uang jajannya cupu, ia yang kehausan membeli minuman cokelat kesukaannya.
Sayang, anak perempuan paling menyebalkan di kelasnya ternyata belum pulang. "Wah enak banget minumannya, aku haus." Lalu dengan kepolosan anak kecil, ia merebut minuman itu dari si empunya dan dibawa lari sambil tertawa. Gadis itu sempat mengejar namun ia menyerah dan kemudian memilih menangis saja. Sial sekali harinya. "Kenapa sih papa mama tidak bisa menjemputku tepat waktu? Kenapa sih uang jajan yang diberikan pas-pasan? Dan kenapa aku harus kenal sama temen paling nyebelin itu?" Pikiran-pikiran itu menyebabkan tangisnya pecah sangat parah.
"Kamu itu enggak boleh ngerebut minuman temenmu sesukanya." Gadis itu melihat ke sebelah kanan, seorang anak lelaki bertubuh besar sedang menggandeng anak perempuan menyebalkan. "Tapi aku haus mas." Kata si menyebalkan itu memelas, gadis itu muak melihatnya. "Minta maaf cepetan." Ucap si bocah laki-laki.
Lalu si gadis dan si menyebalkan bersalaman. Entah ikhlas atau tidak, setelah bersalaman, si menyebalkan langsung lari. "Ini, aku baru beli, tapi kayaknya kamu lebih haus." Ucap si bocah laki-laki sembari memberi minuman cokelat kesukaan si gadis. "Beneran, mas?" Si bocah laki-laki mengangguk kemudian bertanya, "Kamu kelas berapa?" Setelah menyedot minumannya, si gadis menjawab dengan nada khas anak kecil lucu. "kelas 4." "Oh, aku kelas 6."
Lalu mereka mengobrol beberapa hal seperti alasan si gadis belum pulang, juga tentang ekstrakulikuler yang sedang diikuti si bocah.
"Yaudah, aku balik ke ekstra dulu ya. Besok-besok kalau belum dijemput, ke kantin aja. Biasanya aku di sana sama mama." Pamit si bocah.
Saat itu si gadis menyesal tidak menanyakan nama pelindungnya itu. Namun, bocah laki-laki itu menepati janjinya. Beberapa kali, sembari menunggu mamanya selesai bergosip ria, ia menemani si gadis di kantin ketika pulang sekolah.
Sayang, hal itu terjadi hanya beberapa bulan karena si bocah pelindungnya itu lulus dari sekolah dasar. Namun setidaknya ia sudah tahu namanya, Mera, Mera Aksara. Dan meskipun Mera tidak pernah bertanya namanya, namun Mera tahu nama gadis itu dari mamanya yang juga sempat beberapa kali mengobrol dengan si gadis, ia adalah Dara, Dara Ramadhan.
-----
"Hah, gimana maksudnya?" Aku bingung, namun sembari tertawa pelan agar masih terkesan ramah. "Gak papa gak penting." Dara diem sejenak, sebelum diam ini menjadi semakin canggung, Dara buka suara "Eh temenin gue yuk beli es cokelat." Ajak Dara. Hah? Apa ini? Aku bingung, sungguh bingung.
"Dulu waktu sd pernah ada yang ngasih gue minuman cokelat. Gue mau nostalgia aja." Lanjut Dara. Oh jadi itu alasannya, tapi kenapa sama aku? Kasian dong fanboy yang udah capek-capek cari perhatian?
"Es cokelat dari temen yang ngasih kamu itu berbekas banget ya kayaknya?" Tanyaku berbasa-basi masih merasa ini seperti mimpi. "Bukan karena es cokelatnya sih, lebih ke kenangannya." Dara menjawab sambil tersenyum. "Oh iya? Kenangannya apa?"Tanyaku penasaran.
"Dulu, si bocah laki-laki yang ngasih gue minuman itu, sama nyokapnya, beberapa kali nemenin gue waktu pulang sekolah soalnya bokap nyokap gue sukanya telat kalau jemput."
Tunggu-tunggu, kok aku kayak relate sama cerita ini? "Eh tunggu, kamu sd di mana?" Tanyaku. "Jogja." Jawabnya tersenyum sambil memandangku.
Hah? Aku membuka lemari kenangan dan menemukan sesuatu, si gadis yang nangis dulu itu?
------
Bocah laki-laki besar bernama Mera itu menjadi laki-laki pertama yang Dara suka. Bahkan, Dara bertekad melanjutkan ke SMP yang sama dengan Mera, namun, Dara harus pindah ke ibu kota saat melangkah ke jenjang selanjutnya. Mereka hanya berteman di facebook saja. Sayangnya Mera sepertinya tidak terlalu sadar dengan itu dan ketika Mera tidak lagi aktif bermain facebook, Dara kehilangan jejak.
Namun, Dara selalu mengingat nama itu. Mera Aksara, yang tiba-tiba muncul kembali di kolom notifikasi sosial medianya setahun yang lalu.
"Wah Mera follow gue!." Itu yang ada dipikiran Dara yang hampir menekan tombol follow juga. Sebelum akhirnya ada notifikasi lain dari nama yang sama, di twitternya.
"Ya Allah dek, cantik banget." Dara mendengus kesal. Lelaki itu tidak ingat dia rupanya. Niatnya ia urungkan. Sembari berharap, suatu saat ia dan Mera dipertemukan, dan Mera bisa memandangnya sebagai wanita biasa, wanita yang dulu pernah ia hibur dan selamatkan.
Selasa, 31 Maret 2020
Tentang Naskah Terindah Tuhan yang Aku Sia-siakan
Namun terkadang aku berpikir, jika saja aku tidak menjadi lelaki egois, lelaki pengecut yang terlalu takut dengan kata kehilangan, lelaki pecundang yang tidak tahu arti perjalanan, kita masih menyebut diri kita dengan kita.
Kau tetap akan pindah ke ibu kota dan kita menjalani hubungan jarah jauh dengan aku yang sering menyusulmu. Atau mungkin kau memutuskan untuk tinggal? Atau kita berdua lulus di waktu yang sama dan aku sudah berkuliah di sana, sementara kau bekerja. Hidup dalam satu kota, tidak ada masalah.
Aku mulai mengerti hidupmu dan teman-temanmu. Kau pun begitu. Kau tidak akan pergi ke pesta karena aku tidak suka. Malah, kita akan menghabiskan malam dan aku memberimu lantai dansa, seperti yang selalu kamu inginkan, menari dan berdansa.
Kau akan selalu menjadi sosok yang akhirnya aku temukan setelah 21 tahun mencari sosok idaman. Kau lah tuan putri yang selalu ada dalam cerita-cerita yang aku khayalkan akan terjadi. Kau lah jawaban dari segala pertanyaan.
Maka kita akan sering kembali ke tempat spesial, tempat di mana kita saling menemukan. Kita akan disambut tawa anak-anak yang haus rekognisi dan persetan dengan keinginanku menjadi artis, karena di sana aku sudah menjadi selebritis. Bersamamu, aku tak perlu ragu.
Tapi sekarang aku hanya berbaring di kamar dan sudah lama tidak mengunjungi tempat itu. Ingatan mereka tentang kita sudah hilang, diganti ingatan-ingatan lain yang mendewasakan. Anak-anak kelas yang sibuk meneriakkan aku dan kau menjadi kita sekarang sudah masuk masa remaja. Wow, mereka dulunya hanya anak kelas enam yang kita beri sedikit pengetahuan. Sekarang mereka mulai menulis cerita.
Ada banyak hal yang bisa aku tuangkan. Apalagi ketika aku sedang mengenang. Tapi entahlah. Cukup sekian untuk sesi mengenang kali ini.
Aku telah rela, namun tidak mungkin lupa. Dan saat aku tidak bisa lupa, tiba-tiba kau ada.
Kau yang dulu, yang waktu itu.
Minggu, 15 September 2019
Kau Seperti Musik Indie
Maka ku jadikan soraiku sebuah pijakan dalam nyataku yang kelam dan fanaku yang tenang
Kau dan gemuruh di bukit itu telah ku redakan
Maka biarlah segala asa mengepulkan embun basah di ujung pagi yang resah
Tanpa ramah, tanpa indah
Berlari menuju ke selatan lalu terbang mengiringi awan yang menunggu sebuah peran
Mengintip citaku di sela samudera, memaknai kekalahan sebagai kesempurnaan yang tertunda
Memaknai kehilangan sebagai duka yang tak seberapa
Manusia itu bisa berbahagia tanpa bermakna
Manusia itu bisa bersedih tanpa mencari arti
Tapi manusia bisa mencinta tanpa berpura-pura
Dan kau seperti musik indie,
Merdeka dan mampu merangkapku pada setiap maknamu
Senin, 27 Mei 2019
Ber-Senyap
Dan aku lupa, kau lebih memilih berada di sisiku dibanding mencari sebutir kehangatan dan secercah kebahagiaan, sekeping cara untuk lupakan penat dunia di dalam sana. Padahal, aku tidak bisa menawarkan apa-apa. Aku selalu datang padamu dengan rasa lelah setelah sehari penuh bergelut dengan gundah dan sebuah hantu bernama kehidupan. Padahal, aku hanya bisa menyisihkan waktu untukmu beberapa jam saja, dan menerobos malam dingin adalah salah satu resikonya.
Mungkin itulah jawaban mengapa kau tak pernah bisa hilang. Baik dari hatiku maupun pikiranku.
Dari segala macam perjumpaan, dari segala macam kebahagiaan fana, dan dari segala macam luka, kau lah yang terbaik.
Kita bertemu beberapa tahun lalu saat aku berada dalam harap yang panjang pada seseorang yang tak pernah bisa berkata "iya" seutuhnya. Kita bertemu dan kau selamatkanku, sesederhana itu. Seingatku, waktu tak pernah bergerak selambat itu seperti saat aku memelukmu dulu. Egoku tak pernah secepat itu berlalu, seperti saat aku bisikkan keikhlasan ketika kau memutuskan menepi. Ratusan purnama yang lalu, bahagia kita hanya sejenak. Entahlah, semua itu terlalu rumit untuk bisa dipahami lelaki naif sepertiku.
Lantas kau tak pernah bisa hilang. Baik dari hatiku maupun pikiranku.
Lantas kau kembali lagi menawarkan jawaban.
Lantas kita mulai belajar mencintai kembali.
Kita mengkhianati sesuatu yang suci, karna kita menginginkannya.
Hingga malam itu, setelah beberapa tatap dan ribuan sapa, waktu berlalu, aku harus pulang. Pun begitu denganmu.
Kembali pada lelakimu.
dan aku kembali pada wanitaku.
Kau dan aku hilang bersamaan dengan kesadaran mereka yang menikmati pesta.
Rabu, 13 Februari 2019
Terjatuh di Awal Dua Puluh
Yang pertama adalah tentang kuliah. Aku merasa sangat iri dengan teman-teman yang berkuliah di jurusan yang sesuai dengan kesukaan mereka, hal yang tidak aku dapat. Ini menggangguku sekali di tahun 2017 bahkan sampai pertengahan tahun 2018. Aku sempat ingin pindah kuliah di tahun 2017 tapi orang tuaku tidak mengijinkan. Ini terlihat sederhana namun sangat meninggalkan luka. Pelampiasannya? Aku tidak pernah masuk kuliah. Buat apa kuliah kalau ilmunya saja aku tidak suka? Buat apa kuliah kalau tidak menjadi jembatan untuk dunia kerjaku kelak? Karena bekerja di bidang ini bukan tidak pernah menjadi mimpiku sedari dahulu. Saat itu aku mengambil kuliah lintas jurusan ke Ilmu Komunikasi, disana aku mengambil tiga mata kuliah dan ini semakin menambah luka. Dengan cepat aku jatuh cinta dengan matkul-matkul yang aku ambil, teman-teman kelompokku, bahkan para dosennya. Aku benar-benar merasa itu rumah. Tapi ketika aku tersadar aku di jurusan itu hanya sebatas menumpang, luka yang aku punya semakin besar.
Lalu hal yang membuatku jatuh adalah sampai umurku yang menginjak kepala dua, bahkan sekarang sudah dua puluh dua, aku belum mempunyai penghasilan sendiri. Sangat banyak cita-citaku ketika kecil. Banyak sekali mimpi masa kecil yang aku rasa bisa aku gapai di usia muda. Nyatanya, sampai usia dua puluh dua aku masih begini-begini saja. Mulai dari tahun 2017 aku selalu berpikir bisa menjadi sesuatu. "Tahun depan aku pasti sudah disini, sedang mengerjakan ini." Nyatanya, tahun depan aku masih dengan ratapan yang sama, di tempat yang sama, masih bermodalkan uang orang tua. Apa hebatnya?
Contoh nyata dari keinginan yang tidak sesuai dengan jalan adalah : Pada tahun 2014, saat itu aku masih SMA. Aku dan beberapa teman kelas ku sedang mengerjakan tugas di perpustakaan lalu entah bagaimana ceritanya kami membuat sebuah perjanjian bermaterai. Sekali lagi BERMATERAI, yang isinya adalah kalau sampai lima tahun lagi bentuk fisikku tidak membaik (tidak lebih kurus) maka aku akan membawa teman-temanku ke Bali. Disana aku sepakat karena aku yakin lima tahun dari tahun 2014 (yang berarti tahun ini), aku sudah kurus, berotot, tampan, dan punya penghasilan tetap, menjadi kaya di usia muda. Nyatanya, aku hanya lebih kurus sedikit sekali, belum punya penghasilan sama sekali. Panik kah aku? Panik. Bukan panik karena perjanjian bermaterainya, tapi panik karena aku membuang lima tahun dalam hidupku begitu saja, tak melakukan apa-apa.
Sampai akhirnya di setengah tahun terakhir 2018, setelah KKN, aku punya sebuah motivasi lebih untuk menaklukkan quarter life crisisku. Masak aku kalah sama crisis seperti itu? Maka aku mulai mengisi hari-hariku dengan giat bekerja, atau memulai sesuatu. Pertama melanjutkan bisnis videografi yang sebelumnya aku dan beberapa temen SMA ku punya, bergabung dengan majalah online yang baru saja di rintis oleh temanku, sampai membuat video youtube (ini cita-citaku sejak 2017 lalu, menjadi youtuber).
Semuanya terlihat baik di awal sampai gejolak terjadi. Bisnis videografinya mati, media online dan youtube ku belum berpenghasilan sama sekali. Bahkan, youtubeku terancam tidak bisa punya penghasilan meskipun subscribernya sudah 1000 dan jam tayangnya sudah melebihi ketentuan untuk di monetize kan karena ada sebuah masalah administrasi yang membuat google harus mengirimkan sesuatu kerumah yang sudah aku tunggu sebulan tidak datang-datang. Selain itu, aku membanding-bandingkan kanal youtubeku dengan orang lain, mengeluh kenapa subscriberku tidak naik drastis, mengapa masih berkutat di angka 1000 an saja. Disitu aku terpuruk lagi. Ditambah lagi, aku memulai umur 22 dengan laptopku rusak seminggu lebih yang berarti selama seminggu itu aku tidak bisa melakukan kegiatan produktif yang sudah rutin aku jalani 3 bulan terakhir. Lalu, teman-temanku sudah memulai skripsi mereka. Bahkan ada yang sudah pendadaran namun aku belum apa-apa. Pada awalnya aku santai-santai saja karena sudah punya rencana, namun tekanan itu ternyata luar biasa. Tekanan yang tidak bisa aku sikapi dengan baik. Maka jadilah di fase itu aku benar-benar terpuruk. Kalau sedang sendirian di kamar mau nangis aja bawaannya mengingat hidupku yang sudah aku sia-siakan. Kuliahku yang aku "tinggalkan", juga segala keinginan masa kecil yang aku khianati sendiri.
Seberapa parah aku dalam masa krisis sebelum KKN dan setelah bisnis videografinya mati? Parah sekali. Sampai setiap aku melihat film di bioskop aku baper sendiri. Bukan karena ceritanya tapi karena pekerjaan si tokoh utama dan apa yang ia punya. Aku membanding-bandingkan sendiri ia dan aku. Apa yang ia punya dan apa yang aku tidak punya.
Lalu bagaimana aku melawan itu? Ya berpenghasilan lah! Lalu bagaimana jika usaha kita untuk berpenghasilan ternyata gagal dan menuai kecewa seperti kegagalanku dengan bisnis videografi dan youtube yang mempunyai masalah administrasi? Belum lagi tuntutan untuk menyelesaikan skripsi?
Semua dimulai setelah aku menonton film Orang Kaya Baru dan aku baper, membandingkan harta-harta mereka dengan apa yang aku punya. Maka aku berkata kepada teman menontonku kali ini. "Cari uang, yuk?" Awalnya aku berencana mengajaknya berjualan setiap hari. Memberi snack dengan harga murah lalu menjualnya lagi. Namun ternyata seiring berjalannya waktu ia mempunyai rencana jenius. Lalu kita mengobrol, mengonsep, mencari apa yang perlu di cari dan jadilah, kita akan memulai sebuah usaha baru. Semoga Tuhan dan Semesta mendukung karena baru memiliki rencana dan mempersiapkannya saja, separuh bebanku seolah terangkat dan melayang.
Ditambah lagi, setelah satu bulan enam hari menunggu dan aku sudah pasrah kalau youtubeku tidak menghasilkan, surat itu datang juga. Surat yang bisa membuat aku menyelesaikan masalah administrasiku. Surat yang membuat satu langkah lagi youtube bisa aku jadikan tempat bermimpi. Bagaimana tentang skripsi? Iya, aku sudah memulainya. Minggu depan aku mulai bimbingan. Tahun ini, aku harus wisuda.
Pada akhirnya, benar seperti cara Arief Muhammad memenangkan quarter life crisisnya, dengan melawan! Kita tidak akan pernah menang jika tidak terlibat di pertarungan, kan? Aku galau setengah mati karena tidak punya penghasilan di usia segini, maka aku buat penghasilanku sendiri. Aku galau setengah mati karena belum memulai skripsi, maka aku kerjakan skripsi.
Akhir kalimat, biasanya kegalauan ini terjadi karena diri kita sibuk membandingkan diri dengan orang lain yang lebih sukses. Itu tidak apa-apa. Bahkan menurutku tetaplah membandingkan diri tapi liat dari sudut pandang berbeda. Kehebatan dan kejayaan mereka jangan membuat kita runtuh, buatlah kita tetap utuh dengan melawan mereka in a good ways. Jadilah saingan mereka dan kita akan terus tertantang untuk terus bergerak maju.
Aku tidak tahu krisis ini akan berhenti atau akan muncul lagi, yang jelas saat ini aku sudah tahu bagaimana harus bersikap jika suatu saat ia datang mengetuk pintu kamarku (lagi).
Selasa, 12 Februari 2019
Sapa Tanpa Rasa, Tanpa Makna
Beberapa hela nafas kemudian aku telah siap dan aku membalas pesan singkat yang berisi sapa tanpa rasa. Aku tahu betul mana kata yang menyimpan letupan rasa dengan kata yang terpaksa terucap. Tak kusangka sapaan hambar itu berhujung pada sebuah pertemuan. Sekali lagi, pertemuan tanpa rasa karena ia terpaksa melakukannya. Barangku tertinggal padanya dan ia harus mengembalikannya. Ah, seandainya ia tahu kalau tak hanya barangku saja yang tertinggal, namun juga segenap perasaan, segenap kesenangan, segenap kesedihan, dan segenap asa. Semua itu masih ia dekap hangat di alam bawah sadarnya. Sayangnya, ke dalam mimpi pun dekapan itu seolah tak ingin ditampakkan. Maka mereka hanya apa-apa yang dilupakan oleh dia.
Maka setelah sekian lama, aku kembali bertemu dengan jatuh hati terhebatku. Jatuh hati yang pernah membuatku bermimpi tentang hari-hari yang indah, malam yang benderang, dan masa depan yang dipenuhi bola salju yang bercampur rajutan hangat kasih sayang. Jatuh hati yang membuat semua ambisi sendiri menjadi mati dan terganti jalan indah berdua. Jatuh hati yang membuat aku lupa pernah punya luka karena bersamanya aku temu bahagia. Jatuh hati yang melengkapi semua obsesi tentang kasih.
Sore tadi aku kembali menatap indahnya. Rambutnya sudah jauh lebih panjang dari kali terakhir mata kita bertemu. Senyumnya masih memenjaraku. Seolah aku lah satu-satunya manusia di muka bumi yang pantas dihukum dan tersiksa atas kata cinta. Tingkah lakunya masih anggun, seperti geraknya tercipta memang untuk menghemparkan angkasa beserta makhluk bernama lelaki di dalamnya. Ia tetap menjadi ia, wanita yang indah, yang pernah dan masih menghuni sela-sela rasa jauh dibalik sebuah aksara.
Sayangnya, sore singkat berusia 1 menit ku dan dia dipenuhi kepura-puraan. Dia pura-pura buta, tak melihat bahwa rasa yang aku punya masih ada dan sangat nyata. Sedangkan aku pura-pura tuli, tak mendengar hati yang menjerit-jerit masih mendambanya.
Entah sampai kapan aku jatuh dalam cintanya sehingga menjadi patah. Aku adalah seorang lelaki pecundang yang alih-alih melupakan, aku justru merubah jatuh hati terhebatku menjadi patah hati terhebat.