Senin, 05 Februari 2018

Atas Sebuah Pilihan

Setiap orang pasti pernah dihadapkan pada sebuah pilihan sedari bangun tidur sampai terlelap di malam hari. Sesederhana memilih pakaian dalam warna apa yang akan kita pakai menjelang beraktifitas sampai yang sulit seperti memilih bubur dicampur atau dipisah, indomie goreng atau rebus dan lain sebagainya. Lalu sialnya, setiap pilihan pasti akan mempunyai efek yang terasa di kemudian hari. Entah itu efek yang terasa singkat, atau yang akan dirasakan seumur hidup. Beruntung jika pilihan yang diambil adalah pilihan tepat. Efek menyenangkan yang akan terasa. Sial, bagi yang harus menanggung derita karena pilihan salah yang diambil. Aku sendiri, kalau ditanya apakah aku pernah dihadapkan pada sebuah pilihan berat yang pada akhirnya aku sesali, jawabannya adalah dua setengah tahun yang lalu.

Sebagai seorang remaja berseragam putih abu-abu yang sudah memasuki tahun ketiga, tentu pikiran ku saat itu tidak lagi pada junior cupu mana yang bisa di kerjain atau junior cupu mana yang bisa diketawain bareng-bareng dikelas-- ya meskipun kalo aku ngelakuin, malah aku yang di kerjain karena kecupuanku melebihi anak mami kelas 1 sd-- di tahun ketiga masa SMA semua orang mendadak galau. Ruangan BP menjadi penuh, masjid sekolah pun juga. Kalau biasanya istirahat jam pertama dipakai buat ngomongin guru killer atau sekedar menjadi lambe turah di sekolah, kini istirahat jam pertama dipakai untuk sholat Dhuha, pokoknya mendadak alim, deh. Nah kenapa? Karena sebentar lagi siswa kelas 3 akan dihadapkan pada serangkaian test yang menentukan akan berkuliah kemana kalian wahai siswa-siswa harapan bangsa?

Biar jelas, aku ceritakan lagi urutannya. Pertama akan ada input data SNMPTN. Ini jalur masuk PTN paling surga sih. Tanpa tes dan input data nya dari nilai rapor semester 1 kelas 1 sampai semester 1 kelas 3 apa, ya. Setelah itu ada tes UN yang gak ngaruh ke PTN Indonesia sih. Lalu ada SBMPTN, tes tertulis gitu berskala nasional, dan yang terakhir Ujian Tulis masing-masing PTN yang diinginkan.Kampret nya, biasanya ujian tulis Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada itu waktu nya barengan, jadi kan ya kalau ada yang pengen dua itu, dilema ya.

Omong-omong tentang ujian SNMPTN, beruntung banget sih waktu itu 100 persen siswa sma ku bisa daftar jadi ya aku termasuk orang yang beruntung bisa daftar SNMPTN. Waktu itu pilihan pertama ku Ilmu Komunikasi UGM dan pilihan kedua ku Pariwisata UGM. Iseng-iseng aja, sih. Tapi buat pilihan pertama gak iseng juga, karena sebenernya aku pengen masuk sana. Eh tapi namanya juga siswa yang sejak kelas 10 kerjaan nya cuman ngeliatin cewek-cewek cantik dan caper sama guru-guru di sekolah, aku gak lolos SNMPTN. Waktu itu agak iri sih, karena mantan ku (yang waktu itu masih jadi pacar) sebut aja namanya Dian, lolos tes SNMPTN dan aku ngeliat hype lolos nya dia tu kerasa banget dan aku disini adalah cowok yang tidak beruntung yang hanya bisa melihat pacarnya bersenang-senang sementara aku masih getir.

Singkat cerita, waktu pendaftaran SBMPTN dan Ujian Tulis pun dimulai. Aku seorang anak yang (mencoba) berbakti pada orang tua, selalu ingat pesan kedua orang tua.
"Cari pacar yang banyak, mumpung belum nikah." eh bukan.
"Pokoknya besok kalau kamu besar, kamu harus masuk UGM." Itu pesan yang selalu disampaikan papa dan mama sejak aku kecil yang biasanya diikuti dengan mengajak ku melewati Jalan Kaliurang dan melihat kampus UGM dari kejauhan. Doktrin orang tua ku berhasil banget kayaknya, karena benar-benar terbawa sampai waktu aku memilih jurusan tiba. Kalau aku boleh usul, orang tua ku mending di rekrut pemerintah aja deh, buat ngebenerin otak kaum-kaum ekstrimis pemecah bangsa.

Sejujurnya, aku sempat tergoda FIKOM Unpad atau Ilmu Komunikasi UI untuk bersanding bersama Ilmu Komunikasi UGM. Tapi keinginan hanya sebatas keinginan. Sisi diriku yang sudah tersugesti mengabaikan sisi diriku yang mencoba rasional dan memperingatkan "Kejar passion daripada nama besar universitas"

Tapi ya namanya young dumb and fool. Akhirnya baik SBMPTN maupun Ujian Tulis aku memilih pilihan pertama : Ilmu Komunikasi UGM, Jurusan Politik Pemerintahan UGM, dan Pariwisata UGM. Waktu berlalu, aku sudah selesai semua les ku di salah satu bimbel, lalu dua tes tersebut sudah dilalui, penantian hasil sudah aku lewati dan sore itu adalah the moment of truth. Kemanakah aku berlabuh?

Sore itu, disuatu sore di bulan Ramadhan tahun 2015, aku dan Dian sedang duduk di mobil di depan sebuah toko yang menjual cd PlayStation. Setelah aku yang maniak game bola ini mencari game yang aku inginkan, kami sengaja menunggu disana sampai pengumuman tes itu keluar.

"Eh, main dubsmash, yuk." Ajak ku ke Dian saat itu untuk mengusir waktu. Saat itu, Dubsmash sedang sangat booming di Indonesia.
"Dubsmash ngapain?" Dian sedikit mengerutkan kening, bingung.
"Lypsinc When I Was Your Man aja, kamu diem aja. Pura-pura nya aku lagi nyanyi ke kamu gitu galau ala-ala" Aku sering melakukan itu di kaca, nyanyi sambil sok-sok an menghayati. Padahal mah, suara udah kayak kodok kejepit eceng gondok. Mungkin karena takut diturunin ditengah jalan karena permintaan aneh Reno enggak diturunin, akhirnya Dian mau.

Jadilah, ketika anak-anak SMA kelas 3 yang mendaftar SBMPTN di seluruh Indonesia sedang deg2 an menunggu pengumuman SBMPTN keluar, aku justru mengunggah video dubsmash di instagram yang kalo diliat-liat lagi, aku kayak aktor yang make narkoba dan minum alkohol di waktu yang bersamaan. Alkohol nya yang biasa buat ngilangin luka lagi.

Waktu sudah menunjukkan pukul 5, Dian sudah heboh bilang ke aku untuk buka pengumuman. Namun aku justru menjalankan mobil.

"Kok malah jalan?" Tanya nya bingung.
"Tolong kamu liatin dong pengumumannya, ini hape ku." Kataku sambil menyerahkan hape.
"Aduh kok aku yang deg2 an ya." Aku hanya merespon nya dengan tersenyum. Gatau senyum karena apa. Udah kayak orang aneh aja.
"REN!!! Keterima!!!" Waaaa! aku lupa perasaan seneng ku kayak gimana dulu, tapi yang jelas aku seneng! tapi karena aku itu orang nya datar, aku cuman ngerespon.
"Oiya?"
"Iya!! tapi jurusan politik pemerintahan, gapapa ya?"
"Oiya gapapa." Emang nya kalo apa-apa aku bisa gitu marah-marah ke web pengumuman SBMPTN nya? :(
"Kok Politik Pemerintahan sih? Aku mau Ilmu Komunikasi woyyyy Ilmu Komunikasi Woy!!!!" Kataku sambil mencopot baju dan menyiapkan golok.
Gak bakal gitu kan, ya?

Di perjalanan dan kemudian di tempat buka puasa, aku mendapatkan banyak notifikasi, iya, aku adalah anak SBM pertama yang diinvite masuk ke group Line jurusanku. Kultur disana? Terlihat cukup asik. Aku seperti nya akan betah. Tapi dari semua notifikasi, notifikasi yang paling aku tunggu-tunggu adalah dari kedua orang tua ku. Aku sudah mengabari mereka dan aku terharu melihat betapa bahagia nya mereka. Bahkan ketika akhirnya aku sampai di rumah, Mama Papa memeluk ku sambil kita bertiga berkaca-kaca. Aku ngerasa kayak kapten timnas yang bisa membuat Indonesia masuk piala dunia. Piala Dunia balapan keong tapi.

"Papa terimakasih ya sama kamu, Ren. Udah masuk UGM" Kata Papa sambil meluk aku. Itu adalah ucapan termanis Papa yang pernah terucap.

Tapi ternyata, asal masuk UGM itu mudah. Yang susah? Bertahan pada sebuah pilihan yang salah. Bukan, bukan UGM nya, bukan pula jurusannya, tapi aku yang ternyata tidak bisa mengikuti apa yang sedang aku jalani. Disaat teman-teman dekat selama SMA ku punya IP yang bagus-bagus karena mereka menjalani jurusan yang mereka sukai, IP tertinggi ku sampai aku menulis ini hanyalah 3.38. Bahkan sudah 3 semester IP ku hanya 2 koma. Buset dah.

Setiap masuk kelas, aku iri melihat teman-teman sekelasku yang sangat semangat mengikuti kelas karena memang jurusan dan pelajaran ini yang mereka inginkan, mereka butuhkan. Teman-teman ku rata-rata bercita-cita menjadi politisi, peneliti, birokrat, sementara yang aku inginkan adalah menjadi penulis yang ceritanya bisa dibaca orang banyak. Pembuat film yang film nya bisa dilihat orang banyak. Kalau kata Raditya Dika, kata yang pas itu adalah "pencerita." Gak nyambung banget ya jurusanku sama cita-cita ku? Saking gak nyambungnya, ketika orang-orang pinter di kelas nulis berat-berat kayak "Feminisme dan kaitannya dengan konspirasi Flath Earth Society." Atau "Gerakan Sosial Sebagai Wadah Untuk Memenangkan Gejolak Timur Tengah." yang aku tulis adalah "Aku : Laki-laki kesepian yang butuh Cinta." Terdengar menyedihkan, ya.

Hampir dua tahun dari tahun 2015, aku berada dalam puncak ketidak tahananku terhadap situasi ini. Lalu pada suatu malam, Jet, teman sma ku yang sama-sama tergabung di Scema Production, sebuah rumah produksi yang kita rintis dari SMA, mengirimkan sebuah link ke group Line Scema. Apa isi link itu? informasi beasiswa di Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta. Demi apapun, aku merasa mendapatkan sebuah jalan pada waktu itu. Aku merasa inilah saat nya buat aku untuk mengejar apa yang aku inginkan. Saat nya untuk aku buat bersinar, mempelajari apa yang aku inginkan dan butuhkan. Dalam pikiranku, aku sedang tertawa-tawa di depan kelas memegang kertas bertuliskan IPK 4.00 sementara teman-teman sekelas ku memandangi aku kagum seperti aku adalah seorang Superman.

Maka aku kumpulkan semua syarat-syarat yang bisa aku kumpulkan sendiri. Bahkan, aku sudah berpikir kejauhan dengan mencari-cari kost yang dekat dengan kampus IKJ. Aku sudah browsing tentang kampus IKJ mulai dari ospek nya, mata kuliah nya, sampai tugas-tugas akhir nya. Meskipun sudah seperti itu, tapi aku masih harus merenung berhari-hari karena di Fakultas ku di UGM, aku punya banyak tanggungan. Pertama, saat itu aku menjabat ketua Forum Olahraga Fisipol. Yang kedua, saat itu aku ditunjuk menjadi salah satu dari 8 Steering Commitee PPSMB (Ospek) Fakultas. Setelah meminta saran banyak orang, akhirnya tekad ku bulat untuk mencoba apply beasiswa IKJ. Tapi sebagai anak yang mencoba berbakti, aku memutuskan untuk meminta izin kedua orang tua.

Jadilah malam itu, dengan hati berdebar aku mendatangi mama papa yang sedang makan malam. Aku duduk di sebelah mama. Semua kata-kata yang akan aku keluarkan sudah aku siapkan. Tapi saat itu selama beberapa menit yang keluar hanya gumaman gumaman "hmmm" Sampai-sampai aku terdengar seperti orang ngorok, padahal mata ku terbuka lebar, kan serem, ya.

"Ma pa aku mau ngomong agak serius." Kataku akhirnya.
"Ngomong apa to?" Duh, belum aku ngomong kok nada nya mama udah siap ngebunuh aku gini.
Akhirnya aku menjelaskan panjang lebar dengan bahasa se diplomatis dan semelas mungkin. Tapi apa? Mama Papa malah marah ke aku. Kayak, aku ngehimilin anak orang. Semarah itu. Padahal aku cuman mau : Pindah jurusan, sesuai bidang yang aku suka, yang aku tahu betul aku mau jadi apa darisana. Tapi kedengerannya kayak : Ma pa, tadi ada cewek dateng ke aku minta pertanggungjawaban katanya itu anak ku. Kan sedih, ya. Akhirnya setelah sekian lama enggak nangis, malam itu, aku nangis. Ya aku coba nangis nya ala-ala Channing Tatum di film Dear John. Bukan kayak nobita kalo dimarahin Giant.

Semua berlalu lagi, dan semua nya sampai ke masa ini. Aku duduk di sebuah cafe menulis ini di laptop setelah membolos kelas. Bukan, bukan membolos sih, lebih tepat nya aku telat dan tentu nya gabakal bisa masuk. Padahal ini baru hari kedua masuk setelah libur panjang. Rasa tidak semangat yang sama seperti sebelum-sebelum nya yang membuat aku seperti ini. Beda sekali dengan apa yang aku rasakan kemarin siang.

Untuk pertama kali nya aku mengambil mata kuliah lintas jurusan, tentu saja aku memilih jurusan Ilmu Komunikasi dan untuk pertama kali nya sejak dua setengah tahun yang lalu aku berkuliah, aku memperhatikan dosen full selama sesi perkuliahan. Bukan, bukan karena dosennya cantik dan seksi, bukan juga karena aku enggak kenal siapa-siapa disana. Meskipun cupu gini, aku tetep ada yang mengenali, lho. Tapi, pelajaran yang diberikan, setiap kata-kata yang keluar dari mulut dosennya, itu terasa dekat dengan aku. Aku gaperlu mencari-cari dalam otakku untuk bisa paham dengan apa yang dibilang dosen. Beda sekali ketika aku mendengar penjelasan dosen di jurusanku sendiri. Semua terasa ngawang. Setiap kata yang mereka keluarkan (atau yang teman-teman pintar level dewa di kelasku keluarkan) seperti perlahan-lahan mengambil nyawa ku dan menyedot kapasitas otak ku di jurusanku sendiri aku yang berkacamata ini merasa benar-benar seperti Nobita yang nilai nya selalu 0.

Sore ini, atau pun kemarin ketika berada di kelas, aku merasa dunia tidak adil. Aku bisa lebih hebat dari ini, di kampus. Aku bisa ada di posisi teman-teman pintarku di kelas. Aku bisa dapet cumlaude, aku bisa pamer nilai bagus ke orang tua setiap selesai ngecek nilai. Aku bisa! Tapi sayangnya tidak di hidupku yang ini. Sayangnya, 2 setengah tahun yang lalu aku sudah memilih dan aku harus menghidupi pilihanku sendiri.

Akan selalu ada pelajaran dalam sebuah peristiwa. Salah jurusan yang aku alami, seperti nya bakal memberi pelajaran ke mereka yang kelak akan memilih, atau kepada ku sendiri. Aku tidak berhenti-berhenti nya memperingatkan kepada siapapun itu dan bahkan kepada diriku sendiri. Kejarlah semua nya, apapun, yang kamu inginkan, sedari awal. Kamu tahu apa yang kamu inginkan, dan hidup yang kamu hidupi sekarang adalah hidup mu sendiri. Bukan hidup orang lain. Jadi, ketika kalian berhadapan di persimpangan apapun, jangan terburu-buru memilih. Take your time, dengarkan kata hati mu, dan pada akhirnya, kamu akan menang.


Salam, Reno, monyet yang akan terus berusaha memanjat pohon, meskipun sekarang berada di dalam Samudera Hindia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar