Jumat, 22 September 2017

Yang Terdalam

Kota Bandung tidak akan pernah sama lagi tanpamu. Lalu untuk apa aku masih berada disini? Hanya berteman sunyi dan puluhan kendaraan yang masih mengular panjang, juga ada satu lagi. Penyesalanku. Aku sudah lama bisa melepasmu. Aku sudah lama mengangkat tanganku, tanda menyerah. Jika saja apa yang terjadi di kota ini, tidak pernah terjadi.

Bandung. Kau membawa sebuah harapan besar di hidupku. Namun, kau juga membawa sebuah perasaan sedih yang entah sampai kapan bisa aku hilangkan dari hidupku yang menyedihkan. Aku masih ingat bertemu kau, beberapa bulan lalu di kotaku, Jakarta. Aku masih ingat perjumpaan singkat kita di halte Trans Jakarta siang itu. Entah mengapa, aku melihat sosokmu sesempurna itu. Padahal, hanya ada botol air mineral yang menemani mu kala itu. Tidak ada hiasan berlebihan. Aku masih ingat juga raut wajah bingung mu ketika tidak tau rute mana yang harus di tempuh jika ingin sampai di tujuanmu. Dengan penuh perduli, aku membantu mu menunjukkan rute yang benar dan bus apa yang harus kamu naiki. Lalu kamu pergi menaiki bus mu, dan aku menaiki bus ku. Singkat.

Bagai di berkati oleh semesta, minggu depannya, aku bertemu denganmu lagi. Kali ini di kampus ku. Belakangan aku tahu, kau adalah seorang mahasiswi baru yang berasal dari Surabaya. Kita memang berbeda fakultas, namun fakultas kita terletak di tempat yang berdekatan. Beruntung, kau masih mengingatku, sebagai lelaki yang menolongmu di halte transjakarta. Kemudian, kau mulai menyebutku dengan nama lain. Ya, dengan namaku sendiri setelah perkenalan kita sore itu. sebelum kau berlalu dengan teman-temanmu.

Tidak butuh waktu lama untuk ku mencari kontakmu dan kemudian menghubungimu. Responmu? Aku tidak terlalu bisa menerka apa maksud dibalik sebuah sikap, tapi menurutku, dimatamu aku masih seorang asing yang kebetulan saja pernah menolongmu. Oke, tidak masalah. Untuk bisa mengobrol denganmu di dunia maya saja bagiku sudah cukup. Setelah sekian lama aku mencintai kesendirian dan kebebasan, aku ingin mengakhiri itu denganmu. Saat pertama melihatmu, aku sudah yakin, jika ada kesempatan, aku ingin serius denganmu. Tidak ada tempat untuk main-main.

Senangnya, akhirnya dinding itu runtuh. Lama kelamaan, kau mulai terbuka denganku. Dan akhirnya, beberapa kali kita disatukan oleh dua gelas kopi dan megah nya Jakarta di tengah kepadatan. Semua terasa indah bagiku dan aku harap bagimu juga. Ternyata kau tidak se kaku itu, dan ternyata, kata-kata yang keluar dari mulutku dan mulutmu bisa tersambung menjadi kalimat-kalimat panjang yang seringnya, membuat kita lupa waktu.

Dua minggu kedepan, aku dan teman-temanku akan berangkat ke Bandung untuk take sebuah film pendek. Bahagia nya, kau ingin ikut denganku. Sudah lama tidak pergi ke Bandung, katamu. Sedihnya, seseorang dari masa lalu mu tiba-tiba datang menyapa dirimu yang ternyata masih bimbang. Temanmu menyuruhku untuk berhenti, kata hati ku pun berkata demikian.Akhirnya, di malam itu, ditemani segelas kopi dan belasan batang rokok, aku memutuskan untuk berhenti. Bandung hanya menjadi tentangku, bukan menjadi tentang kita.

Namun, menyerahku hanya berhenti sampai disitu. Sore itu, kau mendatangiku dengan seulas senyum. Bandung? katamu. Maka jadilah, keesokan hari nya, kau duduk bersamaku di kursi belakang mobil yang aku dan teman-temanku sewa. Mendengarkan lagu dengan satu alat yang sama. Kepalamu bersandar di pundak ku.

Bandung hari-hari itu menjadi tempat yang indah. Tidak terhitung berapa taman yang kita tinggalkan jejak kenangan. Canda tawa tak terlepas dari kenangan itu. Hujan turun dari langit, meninggalkan harum tanah yang indahnya, kita hirup berdua. Dan malam itu, kita habiskan di sebuah tempat indah yang tak pernah terbayangkan akan aku datangi bersama seorang yang spesial di hidupku. Yang baru aku temui beberapa bulan yang lalu di halte itu. Malam itu, kau ceritakan segalanya tentang hidupmu. Aku pun begitu. Kalau boleh aku meminta kepada Tuhan untuk memanjangkan malam itu, maka malam itu akan berlangsung selamanya. Dirimu begitu indah, mengalahkan gugusan bintang diatas sana. Besok, aku akan mengungkapkan semua rasa. Sebelum terlambat.

"Selamat malam." Kataku ketika mengantarmu di pintu kamarmu di sebuah hotel bintang tiga tempat ku dan teman-temanku juga bermalam.
"Malam juga, selamat tidur ya. Mimpi indah." Katamu. Dan kau masih tersenyum sesaat sebelum pintu kamar itu tertutup, memisahkan kita.

Paginya, dengan semangat aku mengirimimu pesan dan bertanya apakah kau sudah bangun atau belum. Tidak ada jawaban. Maka dari itu, aku buru-buru bergegas membersihkan tubuhku dan berusaha tampil semenarik mungkin untuk bertemu denganmu. Namun, apa yang aku temui? Petugas kebersihan di kamarmu. Pemilik kamar ini sudah pergi, katanya. Bimbang dan bingung. Dengan perasaan gelisah, aku mencoba menghubungi mu untuk memastikan semua nya. Tidak ada jawabannya. Aku coba membuka aplikasi berbagi foto dan menuliskan namamu disana. Apa yang aku temukan? Foto mu dengan seseorang dari masa lalumu. Ya, ketakutanku sebelum Bandung terbukti. Kau belum sepenuhnya melupakan dia, dan aku adalah korbannya. Kau sengaja mengucapkan selamat tidur dan pergi. Kau sengaja meninggalkan kenangan indah untuk kemudian kamu nodai dengan banyak luka yang datang bertubi-tubi.

Apa yang salah denganku? Apakah perbincangan malam itu di tempat terindah Bandung menyinggung perasaanmu? Jika kau ingin meninggalkanku, kenapa harus ada Bandung? Jika Bandung itu tidak pernah ada, luka yang aku dapatkan tidak separah ini. Jika sore itu kau tidak datang meminta Bandung kepadaku, tidak akan ada harapan dan mimpi yang terlanjur aku dengungkan dan teriakkan.

Kau telah tinggalkan hati yang terdalam. Maaf, akhirnya aku benar-benar berhenti. Bukannya aku mudah menyerah, tapi bijaksana.

Rabu, 20 September 2017

Sajak Singkat Tanpa Rasa Hangat

Tanpamu hari ini
Dan tanpamu esok hari
Aku bagaikan sebuah anak panah tak bertuju
Sendiri, hilang, dan kacau

Dimana ada rindu, disitu ada semu
Ada gerombolan merpati putih pergi menjauh
Membawa kalimat rindu seorang pecinta sendu
Perih, ada sayap yang patah di bangku taman itu

Hariku sepi, pelabuhanku sunyi
Didalam maknaku, kau tetap pergi
Sementara jembatan di depanku mulai rubuh
Sehingga inginku tidak terhubung dengan ragamu

Kau boleh pergi menjauh, dan aku rela
Namun, ijinkanku denganmu dalam peluk
Agar dapat aku rasa bahagia dalam cintamu
Sebentar saja, sebelum kau memilih dia



Muhammad Reno Fandelika
20 September 2017, 16:30

Analogi Patah Hati

Akhirnya aku menemukannya! Sebuah istana megah yang taj berpenghuni. Konon katanya, semua barang-barang disana terbuat dari emas. Di gudang nya, tertumpuk segala harta peninggalan awal peradaban sampai abad pertengahan. Makadari itu, tak sabaraku melangkah mendekati istana itu. Hidupku pasti akan sempurna jika berada di dalam istana!

Saat sudah di bibir istana, tidak aku temukan jalan naik. Hanya ada tembok besar. Maka ku putuskan pergi berkeliling. Sayangnya, tak juga kutemukan jalan. Hanya ada sebuah tembok yang strukturnya berbeda dari tembok kebanyakan, tembok ini sedikit miring. Maka aku putuskan mendaki melalui tembok yang miring itu. Berat sekali, jauuuuh sekali. Bahkan, beberapa kali aku terperosok. Tapi tidak apa-apa, demi kebahagiaan yang hakiki.

Pernah beberapa kali aku ingin menyerah mendaki nya. Namun, setiap kali aku putuskan menyerah, selalu aku temukan alasan ku untuk mendaki kembali. Selalu seperti itu. Sampai di satu titik, aku merasa sudah tidak ada jalan lagi. Akhirnya aku putuskan untuk melepaskan genggaman dan aku meluncur turun dengan bebasnya. Bahagia ku bukan di istana itu, pikirku. Lucunya, saat aku meluncur turun, aku justru terperosok ke sebuah jalan kecil yang sedari tadi tidak aku temukan.

Aku tersungkur kemudian bangkit berdiri. Ketika pandanganku sudah bisa menyesuaikan, mataku langsung berbinar! Bagaimana tidak, ternyata ada jalan yang jauh lebih mudah! Sebuah tangga emas menuju pintu gerbang istana yang terbuka sedikit. Karpet merah sudah menyambutku disana. Inikah kesempatan kedua ku?

Dengan penuh semangat, aku berlari menuju tangga itu. Ternyata jauh juga, membutuhkan waktu 10 menit berlari untuk bisa menyentuh anak tangga pertama. Sementara karpet merah masih berpuluh-puluh anak tangga disana.

Bagai anak kecil yang dibelikan mainan kesukaan, aku kegirangan. Aku melonjak-lonjak, merasa hidupku akan bahagia selamanya. Kemudian aku berlari dengan semangatnya. Bahkan, beberapa kali aku masih meloncat kegirangan. Beberapa langkah lagi aku akan menginjak karpet merah, yang artinya, langkahku akan semakin terhormat menuju pintu gerbang istana. Maka, aku coba menghentikan lari ku sejenak dan mengelus tangga emas itu lalu merogoh saku ku. Aku menemukan pisau pahat. Dengan penuh kebodohan aku mencoba memahat namaku disana.

Tapi apa yang terjadi? Kumpulan anak tangga emas itu perlahan rubuh. Hingga aku harus menerima kenyataan bahwa tidak ada lagi penghubung yang tersisa antara bukit tembok tadi dan pintu gerbang istana. Hancur, semua usahaku hancur. Bahagiaku pun ikut hancur. Tak pernah ada lagi penghubung antara diriku dan istana megah. Pahitnya, semua karena egoku.


Muhammad Reno Fandelika
16 September 2017, 09:22

Sabtu, 02 September 2017

Rindu?

Percayalah, kamu tidak rindu dia. Kamu hanya rindu ketika jam 2 pagi kamu tidak terlelap, dia yang dahulu ada menemani mu. Kamu hanya rindu ketika kamu lelah dengan hidupmu yang membosankan, dia datang memberi warna dan semangat baru.

Kamu tidak rindu dengan sosoknya, kamu hanya ingin merasakannya lagi, ketika waktu istirahatmu di taman sekolah diisi dengan canda tawa penuh makna yang sampai sekarang tidak pernah kamu rasa lagi sejak kau meninggalkannya.

Engkau persetan dengan dia, kecuali senyumnya ketika memberi mu minuman dan segelas semangat saat kau berjalan keluar dari lapangan itu. Rasa mu ke dia sudah lama mati. Namun kenangan yang pernah kalian usahakan bersama tetap hidup, bahkan membayangi langkahmu kemana pun kau menuju.

Panggilan sayang itu hanya aib masa lalu, namun tidak dengan panggilan telepon ketika kau ingin bercerita banyak sembari melepas yang namanya rindu. Kau sudah lama melupakan sosoknya, begitu juga dia yang sudah menemukan penggganti dirimu. Lalu mengapa sebercik keikhlasan yang sejak dahulu kau cari itu tidak pernah kau temukan?

Percayalah, sekali lagi percayalah, kau tidak bisa membasuh luka dengan luka. Kau tidak bisa menumpuk kenangan dalam kenangan, dari orang yang sama. Kau memang tidak rindu dengan dia. Namun, semua itu hanya omong kosong belaka. Pada inti nya, seberapa jauh kau berusaha melupakannya, kau tidak akan pernah benar-benar melupakannya sampai sel-sel dalam otakmu berhenti mereproduksi sesuatu yang bernama kenangan.


Muhammad Reno Fandelika
Minggu, 27 Agustus 2017 23:06

Kamu dan Dia

Gerhana masih singgah di mata nya yang menatap lurus ke dalam mataku yang tidak bisa berpaling dari sosok nya. Gelap. Aku dihujani gelap yang aku nikmati dan aku sebut mimpi. Aku bermimpi dalam kegelapan.

Kemudian di suatu waktu, siang itu datang di tengah gerhana. Terang, sampai-sampai aku merasa selama ini aku tidak hidup. Aku masuk kedalam pesona yang ditawarkan mentari dan berbagai macam hiruk pikuk kehidupan yang ternyata menyeretku terjatuh di sebuah lubang. Tentu saja aku tidak takut akan gelap. Bukannya aku sudah pernah melewati nya? Aku juga tidak takut sempit, gerhana yang tadi sudah terlalu menyempitkan untuk membuatku terbiasa.

Untungnya, lubang yang aku masuki tidak gelap. Jujur saja, aku terkejut. Mana ada lubang yang bermentari? Mana ada lubang yang seluar dunia? Hingga aku merasa, mungkin ini surga ku. Tapi, aku terlalu bodoh untuk menyadari. Lubang ini terlalu dalam. Lebih lagi, bukan hanya aku yang menghuni lubang ini. Bagaimana aku bangkit untuk bernafas? Sementara, saat aku harus terjatuh, aku terjatuh terlalu dalam.

Iya, Gerhana itu sosok nya yang perlahan aku lupakan. Dan lubang itu? Lubang itu tidak pernah ada.

Karena hanya ada kamu.


Muhammad Reno Fandelika
Kamis 10 Agustus 2017 18:42

Pesta

Malam terlalu malam. Dan bising? Terlalu bising. Puluhan manusia menari di depanku, merayakan apa saja yang bisa dirayakan. Pesta, mereka menyebutnya pesta. Apa saja mereka pesta kan. Aku? aku sendiri tidak akan berada di sini jika bukan karena matamu. Iya, kamu. Manusia masih menari, lampu taman itu masih menyala terang. Gugusan bintang membentuk senyum mu. Iya, kamu.

Aku tidak mengingat apapun kecuali purnama yang Tuhan titipkan di wajahmu. Aku tidak memandang ke arah lain selain pusat waktu dunia yang Tuhan tanamkan di gerak gerik mu. Dan aku, tidak mendengar nyanyian lain selain pesan penenang terbaik yang Tuhan anugerahkan dalam tiap nada kicauan mu.

Daun-daun di pohon atas sana masih ikut menari, mengokohkan dahan nya yang kini disinggahi burung hantu. Entahlah, aku tidak tahu sejak kapan burung hantu suka berpesta. Karena yang berpesta di pikiranku dari tadi hanya tawa mu.

Jika aku punya kuasa penuh atas waktu, maka berhentilah waktu saat itu selama berabad-abad. Ya, seorang lelaki aneh yang menyebut diri nya pencinta, sedang menghentikan waktu sekian puluh abad untuk melukiskan sosok mu di kanvas terindah di dunia. Aku ingin, sungguh aku ingin melukiskan diri mu di setiap darah mengalir. Agar apa? Agar aku selalu menyatu dengan segala entitas hidup mu.

Pesta yang aneh, lampu taman sudah berubah menjadi menara persembahan raja. Alunan musik keras tiba-tiba berubah menjadi sebuah orkes mengerikan abad pertengahan. Orkes yang memainkan musik-musik pembantaian. Namun aku tak bergeming. Aku justru tersenyum dan melangkah. Karena kini, aku berhasil menangkap mu dalam pikiranku. Dan untuk saat ini, itu lebih dari cukup.

Muhammad Reno Fandelika
Selasa, 8 Agustus 2017 21:55

Rayakan Sendu

Aku adalah bintang yang menyeduh secangkir kopi
Tanpa gula, namun pakai satu sendok sepi
Dan merayakan anggur
Saat hari sudah mulai gugur

Kata orang, aku selalu jatuh
Merayakan jatuhku adalah doa nya
"Aku tidak akan beranjak", kataku
Karena kepadaku, rumah sudah dipersembahkan

Namun tak bisa kau rasa rumah
Jika masih tertutup kau punya mata
Maka mulai ku buka alam fana
Dimana malam mencumbu senja

Aku adalah bintang yang mulai menyentuh himalaya
Lebarnya sayapku, menyelami maladewa
Kedua kaki ku yang agung, berlari di sahara
Namun hatiku, ia berlabuh di matamu

Disitu, aku tenggelam sedalam-dalam nya

Dari dalam samudera matamu, aku melihat jingga di langit yang tak biru
Atau aku rasa kupu-kupu di dalam tubuhku
Bahwa akhirnya, aku juga jatuh di senyum mu

Aku dengar, ribuan bisik melafal doa
Aku bintang yang sedang jatuh
Dan kau adalah nahkoda bahagia ku
Dan mereka, masih saja berdoa

Aku tertawa
"Kalian manusia tidak pernah mengerti bahagia"
"Bahagiamu fana, karna yang nyata hanya luka"
Sementara tangan yang menggenggam semakin menjadi kita

Kau adalah manusia yang menyeduh semu
Tambah gula dan sesendok rindu
Atau merayakan sendu
Saat hari mulai kelabu


Muhammad Reno Fandelika
Minggu, 6 Agustus 2017 23:12