Kota Bandung tidak akan pernah sama lagi tanpamu. Lalu untuk apa aku masih berada disini? Hanya berteman sunyi dan puluhan kendaraan yang masih mengular panjang, juga ada satu lagi. Penyesalanku. Aku sudah lama bisa melepasmu. Aku sudah lama mengangkat tanganku, tanda menyerah. Jika saja apa yang terjadi di kota ini, tidak pernah terjadi.
Bandung. Kau membawa sebuah harapan besar di hidupku. Namun, kau juga membawa sebuah perasaan sedih yang entah sampai kapan bisa aku hilangkan dari hidupku yang menyedihkan. Aku masih ingat bertemu kau, beberapa bulan lalu di kotaku, Jakarta. Aku masih ingat perjumpaan singkat kita di halte Trans Jakarta siang itu. Entah mengapa, aku melihat sosokmu sesempurna itu. Padahal, hanya ada botol air mineral yang menemani mu kala itu. Tidak ada hiasan berlebihan. Aku masih ingat juga raut wajah bingung mu ketika tidak tau rute mana yang harus di tempuh jika ingin sampai di tujuanmu. Dengan penuh perduli, aku membantu mu menunjukkan rute yang benar dan bus apa yang harus kamu naiki. Lalu kamu pergi menaiki bus mu, dan aku menaiki bus ku. Singkat.
Bagai di berkati oleh semesta, minggu depannya, aku bertemu denganmu lagi. Kali ini di kampus ku. Belakangan aku tahu, kau adalah seorang mahasiswi baru yang berasal dari Surabaya. Kita memang berbeda fakultas, namun fakultas kita terletak di tempat yang berdekatan. Beruntung, kau masih mengingatku, sebagai lelaki yang menolongmu di halte transjakarta. Kemudian, kau mulai menyebutku dengan nama lain. Ya, dengan namaku sendiri setelah perkenalan kita sore itu. sebelum kau berlalu dengan teman-temanmu.
Tidak butuh waktu lama untuk ku mencari kontakmu dan kemudian menghubungimu. Responmu? Aku tidak terlalu bisa menerka apa maksud dibalik sebuah sikap, tapi menurutku, dimatamu aku masih seorang asing yang kebetulan saja pernah menolongmu. Oke, tidak masalah. Untuk bisa mengobrol denganmu di dunia maya saja bagiku sudah cukup. Setelah sekian lama aku mencintai kesendirian dan kebebasan, aku ingin mengakhiri itu denganmu. Saat pertama melihatmu, aku sudah yakin, jika ada kesempatan, aku ingin serius denganmu. Tidak ada tempat untuk main-main.
Senangnya, akhirnya dinding itu runtuh. Lama kelamaan, kau mulai terbuka denganku. Dan akhirnya, beberapa kali kita disatukan oleh dua gelas kopi dan megah nya Jakarta di tengah kepadatan. Semua terasa indah bagiku dan aku harap bagimu juga. Ternyata kau tidak se kaku itu, dan ternyata, kata-kata yang keluar dari mulutku dan mulutmu bisa tersambung menjadi kalimat-kalimat panjang yang seringnya, membuat kita lupa waktu.
Dua minggu kedepan, aku dan teman-temanku akan berangkat ke Bandung untuk take sebuah film pendek. Bahagia nya, kau ingin ikut denganku. Sudah lama tidak pergi ke Bandung, katamu. Sedihnya, seseorang dari masa lalu mu tiba-tiba datang menyapa dirimu yang ternyata masih bimbang. Temanmu menyuruhku untuk berhenti, kata hati ku pun berkata demikian.Akhirnya, di malam itu, ditemani segelas kopi dan belasan batang rokok, aku memutuskan untuk berhenti. Bandung hanya menjadi tentangku, bukan menjadi tentang kita.
Namun, menyerahku hanya berhenti sampai disitu. Sore itu, kau mendatangiku dengan seulas senyum. Bandung? katamu. Maka jadilah, keesokan hari nya, kau duduk bersamaku di kursi belakang mobil yang aku dan teman-temanku sewa. Mendengarkan lagu dengan satu alat yang sama. Kepalamu bersandar di pundak ku.
Bandung hari-hari itu menjadi tempat yang indah. Tidak terhitung berapa taman yang kita tinggalkan jejak kenangan. Canda tawa tak terlepas dari kenangan itu. Hujan turun dari langit, meninggalkan harum tanah yang indahnya, kita hirup berdua. Dan malam itu, kita habiskan di sebuah tempat indah yang tak pernah terbayangkan akan aku datangi bersama seorang yang spesial di hidupku. Yang baru aku temui beberapa bulan yang lalu di halte itu. Malam itu, kau ceritakan segalanya tentang hidupmu. Aku pun begitu. Kalau boleh aku meminta kepada Tuhan untuk memanjangkan malam itu, maka malam itu akan berlangsung selamanya. Dirimu begitu indah, mengalahkan gugusan bintang diatas sana. Besok, aku akan mengungkapkan semua rasa. Sebelum terlambat.
"Selamat malam." Kataku ketika mengantarmu di pintu kamarmu di sebuah hotel bintang tiga tempat ku dan teman-temanku juga bermalam.
"Malam juga, selamat tidur ya. Mimpi indah." Katamu. Dan kau masih tersenyum sesaat sebelum pintu kamar itu tertutup, memisahkan kita.
Paginya, dengan semangat aku mengirimimu pesan dan bertanya apakah kau sudah bangun atau belum. Tidak ada jawaban. Maka dari itu, aku buru-buru bergegas membersihkan tubuhku dan berusaha tampil semenarik mungkin untuk bertemu denganmu. Namun, apa yang aku temui? Petugas kebersihan di kamarmu. Pemilik kamar ini sudah pergi, katanya. Bimbang dan bingung. Dengan perasaan gelisah, aku mencoba menghubungi mu untuk memastikan semua nya. Tidak ada jawabannya. Aku coba membuka aplikasi berbagi foto dan menuliskan namamu disana. Apa yang aku temukan? Foto mu dengan seseorang dari masa lalumu. Ya, ketakutanku sebelum Bandung terbukti. Kau belum sepenuhnya melupakan dia, dan aku adalah korbannya. Kau sengaja mengucapkan selamat tidur dan pergi. Kau sengaja meninggalkan kenangan indah untuk kemudian kamu nodai dengan banyak luka yang datang bertubi-tubi.
Apa yang salah denganku? Apakah perbincangan malam itu di tempat terindah Bandung menyinggung perasaanmu? Jika kau ingin meninggalkanku, kenapa harus ada Bandung? Jika Bandung itu tidak pernah ada, luka yang aku dapatkan tidak separah ini. Jika sore itu kau tidak datang meminta Bandung kepadaku, tidak akan ada harapan dan mimpi yang terlanjur aku dengungkan dan teriakkan.
Kau telah tinggalkan hati yang terdalam. Maaf, akhirnya aku benar-benar berhenti. Bukannya aku mudah menyerah, tapi bijaksana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar