Rabu, 20 September 2017

Analogi Patah Hati

Akhirnya aku menemukannya! Sebuah istana megah yang taj berpenghuni. Konon katanya, semua barang-barang disana terbuat dari emas. Di gudang nya, tertumpuk segala harta peninggalan awal peradaban sampai abad pertengahan. Makadari itu, tak sabaraku melangkah mendekati istana itu. Hidupku pasti akan sempurna jika berada di dalam istana!

Saat sudah di bibir istana, tidak aku temukan jalan naik. Hanya ada tembok besar. Maka ku putuskan pergi berkeliling. Sayangnya, tak juga kutemukan jalan. Hanya ada sebuah tembok yang strukturnya berbeda dari tembok kebanyakan, tembok ini sedikit miring. Maka aku putuskan mendaki melalui tembok yang miring itu. Berat sekali, jauuuuh sekali. Bahkan, beberapa kali aku terperosok. Tapi tidak apa-apa, demi kebahagiaan yang hakiki.

Pernah beberapa kali aku ingin menyerah mendaki nya. Namun, setiap kali aku putuskan menyerah, selalu aku temukan alasan ku untuk mendaki kembali. Selalu seperti itu. Sampai di satu titik, aku merasa sudah tidak ada jalan lagi. Akhirnya aku putuskan untuk melepaskan genggaman dan aku meluncur turun dengan bebasnya. Bahagia ku bukan di istana itu, pikirku. Lucunya, saat aku meluncur turun, aku justru terperosok ke sebuah jalan kecil yang sedari tadi tidak aku temukan.

Aku tersungkur kemudian bangkit berdiri. Ketika pandanganku sudah bisa menyesuaikan, mataku langsung berbinar! Bagaimana tidak, ternyata ada jalan yang jauh lebih mudah! Sebuah tangga emas menuju pintu gerbang istana yang terbuka sedikit. Karpet merah sudah menyambutku disana. Inikah kesempatan kedua ku?

Dengan penuh semangat, aku berlari menuju tangga itu. Ternyata jauh juga, membutuhkan waktu 10 menit berlari untuk bisa menyentuh anak tangga pertama. Sementara karpet merah masih berpuluh-puluh anak tangga disana.

Bagai anak kecil yang dibelikan mainan kesukaan, aku kegirangan. Aku melonjak-lonjak, merasa hidupku akan bahagia selamanya. Kemudian aku berlari dengan semangatnya. Bahkan, beberapa kali aku masih meloncat kegirangan. Beberapa langkah lagi aku akan menginjak karpet merah, yang artinya, langkahku akan semakin terhormat menuju pintu gerbang istana. Maka, aku coba menghentikan lari ku sejenak dan mengelus tangga emas itu lalu merogoh saku ku. Aku menemukan pisau pahat. Dengan penuh kebodohan aku mencoba memahat namaku disana.

Tapi apa yang terjadi? Kumpulan anak tangga emas itu perlahan rubuh. Hingga aku harus menerima kenyataan bahwa tidak ada lagi penghubung yang tersisa antara bukit tembok tadi dan pintu gerbang istana. Hancur, semua usahaku hancur. Bahagiaku pun ikut hancur. Tak pernah ada lagi penghubung antara diriku dan istana megah. Pahitnya, semua karena egoku.


Muhammad Reno Fandelika
16 September 2017, 09:22

Tidak ada komentar:

Posting Komentar