Jumat, 01 Desember 2017

Pakaian Itu Temukan Lorong Waktu

Mungkin menurut banyak orang, korsa diatas hanyalah sebuah korsa biasa, namun tidak bagi ku. Aku pertama kali menyentuh korsa itu setahun yang lalu. Saat itu Alhamdulillah teman-teman mempercayakan ku menjadi ketua Forum Olahraga Fisipol, dan di malam pelantikan, ketua sebelumnya yang bernama Mbak Putri datang dan menyerahkan pakaian itu kepadaku. "Itu turun temurun dari angkatan atas Ren, untuk ketua." Mulai dari saat itu juga, aku tahu arti korsa itu lebih tinggi dari pakaian biasa. Menurutku ia adalah simbol, ia adalah tradisi, dan lebih jauh lagi, ia adalah harapan.

Tulisanku kali ini tidak ingin membahas suatu pakaian berwarna merah yang memiliki lambang UGM di lengan bagian kanan, dan lambang FOF di lengan bagian kiri, bukan, bukan tentang itu. Aku ingin terbang kembali ke malam itu dan hari-hari setelahnya sampai detik ini. Aku akui, aku bukanlah orang yang memiliki kemampuan mengkoordinir orang banyak, suaraku tidak selalu terdengar oleh orang banyak dan mungkin, hanya sedikit yang mau mendengarkanku. Tapi semenjak malam itu, aku merasa punya harapan untuk merubah semua kekurangan tersebut tadi. Kemudian atas nama kecintaanku terhadap organisasi ini, aku memberanikan diri untuk menghadapi. Sungguh semua terasa mudah di awal. Aku menemukan orang-orang yang tepat untuk membantuku. Namun semakin bertambah nya hari, fokus ku berkurang seiring masalah yang timbul pelan-pelan yang sebenarnya diawali oleh pikiran-pikiranku sendiri.

Kau tidak akan mengerti apa yang bisa kau lakukan jika pikiranmu masih saja menunjukkan apa kekurangan yang malah kau tampakkan. Pun begitu denganku. Diawali rapat perdana yang cukup sukses menghadirkan banyak sekali orang dan bahagiaku, sayangnya, mentalku diuji di event pertama, Sportiva namanya. Aku tidak tahu mengapa tapi alam bawah sadarku terus membayangkan kultur apa yang aku rasa dari organisasi ini sebelum ku dan pada masa ku. Aku terus berpikir bahwa aku tidak pernah bisa menyamai partisipasi pendahulu ku dalam mengerjakan suatu pekerjaan. Hingga akhirnya pada malam itu di suatu gedung olahraga, lembah namanya, aku banyak bercerita dengan satu sosok lain dalam foto diatas. Aku menumpahkan semua keluh kesahku kepadanya dan akhirnya aku seperti mendapat dukungan baru karena aku tahu dia akan terus membantuku.

Rasa percaya diri yang dibangun karena orang-orang disekeliling kita itu penting, dan aku merasakan betul. Aku bukanlah apa-apa dan tidak akan pernah menjadi apa-apa tanpa seseorang di sekelilingku, dan itu anak-anak FOF itu sendiri. Semakin jauh lorong waktu yang aku tempuh, semakin banyak wajah-wajah baru yang akhirnya semakin menguatkanku. Mungkin tidak sedikit yang pergi karena kesibukannya sendiri, namun tidak sedikit juga yang datang dan bersama-sama sepakat denganku tanpa perlu lisan berujar untuk berjuang, dan aku sangat menghargai itu.

Jika kalian tanya satu tahun paling berat dalam hidupku sampai saat ini itu apa, jawabanku pasti, tahunku membawa korsa itu. Namun, jika aku boleh mendapatkan pertanyaan satu tahun paling membelajarkan ku, jawabanku jelas bukan saat akan Ujian Nasional SMP atau SMA, namun saat aku berada di struktur tertinggi organisasi ini. Aku tidak pernah menduga memimpin organisasi ini mengajarkanku banyak hal. Merubahku menjadi sosok yang lebih baik lagi, dan yang pasti, membentuk mentalku menjadi seseorang yang lebih kuat dari sebelumnya.

Dari awal aku tahu betul, organisasi ini bukan sembarang organisasi. FOF adalah organisasi yang luar biasa. Organisasi olahraga fakultas pertama di UGM. Kondisi yang mengingatkanku kepada ajang Porsenigama. Ketika fakultas lain memakai bendera dema atau lem, Fisipol dengan gagah mendelegasikan bendera FOF untuk berkibar sejajar dengan yang lain, dan itu istimewa sekali. Namun sayangnya, karena aku sadar FOF ini bukan organisasi sembarangan, aku menjadi sedikit menyesal dengan pembawaanku di dalamnya. Aku mungkin akan meminta maaf kepada semua orang yang ada di dalam organisasi ini bahwa aku tidak dapat memimpin dengan baik. Aku tau aku memimpin dengan sangat pasrah, aku memimpin dengan sangat santai. Karena memang pendekatan ini yang coba aku terapkan. Aku melihat setiap mahasiswa Fisipol pasti akan sangat memprioritaskan Himpunan Mahasiswa Departemen mereka masing-masing, dan hanya segelintir orang yang mau berdarah-darah untuk UKMF. Maka dari itu, aku memilih pendekatan yang santai dengan harapan itu akan menarik mahasiswa fisipol untuk bekerja karena emang ingin bekerja, bukan karena takut atau gak enak ketua nya marah-marah. Namun di akhir aku tau betul, terlalu santai akan membuat organisasi ini terlihat tidak serius. Kemudian hanya kata maaf lah yang bisa aku ucapkan kepada teman-teman FOF OAOE semua jika merasa kecewa sudah berkecimpung di FOF yang terlalu selo ini, yang membuat kalian merasa tidak bekerja atau tidak mendapatkan apa-apa, sekali lagi aku minta maaf. Bukan organisasi nya yang salah, hanya setahun ini, sopir nya saja yang tidak
handal.

Aku sudah kembali pada momen setahun yang lalu, ketika aku menyentuh pakaian berwarna merah itu untuk pertama kali. Saat itu aku membayangkan hari ini, dan hari ini aku berusaha menuangkan perjalanan. Sudah hampir semua perjalanan otakku aku tuangkan dalam tulisan ini. Rasa terimakasih mungkin akan menguras habis semua pikiran di kepala ku tentang momen ini. Iya, aku jelas ingin berterimakasih kepada semua nya yang sudah ada disini, disampingku dan berjuang bersama untuk menghidupkan FOF kita. Kembali seperti post ku sebelumnya, aku sangat menghargai seseorang yang sudah berjuang bersamaku sampai akhir. Dan ijinkan aku mengucapkan sebuah kalimat di saat terakhir kalinya korsa itu berada di tanganku.

"Temen-temen semua, terimakasih banyak sudah berjuang bersama. Dan dari awal kepengurusanku sampai sekarang, tetap sama. Tanpa kalian, FOF itu cuma apalah apalah."

Reno, 1 Desember 2017

Rabu, 29 November 2017

Meleburlah Bersamaku, Dalam Bahagiaku

Hujan dua malam ini, memaksaku bercumbu dengan kampus lebih lama. Saat ini dibawah atap fisipol yang sedang bertarung dengan air hujan, aku mengingat sebuah kata. Setahun yang lalu, aku dan teman-teman sepakat menempuh jalan berat. Bagiku pribadi, tujuannya cuma satu : Agar tak ada yang bisa meremehkan kami lagi. Aku sadar, dengan presensi kehadiran di kelas yang jarang sekali terisi, tak sedikit yang kemudian memandang kami sebelah mata. Bahkan, ada yang menyebut kami hanyalah sebatas lelucon masa kini. Untuk itulah penting menurutku buat kami lepas landas dari "tanah asing" begitu aku menyebutnya. Aku berada di kota ku sendiri, rumah selama 19 tahun (kala itu) namun aku merasa asing. Pernah aku berpikir untuk pergi, tapi kehadiran adik-adik tingkat baru yang lucu-lucu, juga ikrar perjuangan yang terucap, membuat ku mengurungkan niatku sendiri. Jalan ini akan kita tempuh dan akan membawa kita menuju sesuatu hal yang lebih baik, lebih indah.

Waktu berlalu, dan aku tidak pernah merasa sebergairah itu di kampus. Pernah kalian ngopi sampai subuh? Membicarakan tentang perjuangan itu sendiri? Hampir setiap malam kami menyapa angin malam, mengucapkan salam kepada rembulan, memaksa batas diri untuk organisasi kami yang harapannya akan menjadi lebih baik, dan aku bahagia, karena kami memang membuka ruang, sebuah ruang yang kami beri nama Ruang Bahagia. 

Sayang, sebuah kenyataan pahit terjadi, kami belum sempat terjun ke kontestasi yang sebenarnya. Kami terpaksa pamit pulang terlebih dahulu. Keputusan yang berat karena kami harus memilih untuk menjadi seorang oportunis, atau moralis. Menjadi orang jahat demi kepuasan pribadi, atau tetap pada pendirian dan idealisme kami. Akhirnya, Ruang Bahagia secara de facto, berakhir saat itu. Hanya terimakasih yang bisa aku berikan kepada teman-teman RB yang masih memperjuangkan RB sampai titik terakhir, sampai akhirnya waktu berbisik di telinga kami. "Saatnya untuk berhenti." Katanya.

Tahun berlalu, diri juga berproses. Aku bertemu orang-orang baru dan aku memutuskan untuk masuk lagi kedalam muara perjuangan itu, yang menyebut dirinya sebagai Melebur Bersama. Kita bukan ingin menjadikan semua orang satu, kita ingin menanggalkan segala identitas, dan mementingkan kepentingan bersama. Setidaknya itulah Melebur Bersama versiku.

Sementara, gairah ku kembali lagi. Sedari dahulu, aku selalu suka dengan kebersamaan dan perjuangan. Kalian boleh anggap aku pembohong, tapi aku tidak mungkin ingkar dari sebuah perjuangan, dan aku bersumpah, aku mengangkat topi setinggi-tinggi nya untuk kalian yang mau berjuang bersama lagi, tanpa mengingkari kata berjuang itu sendiri.
.
Paragraf terakhir membawa ku kembali kepada saat ini, detik ini, hujan dan sendu di fakultasku yang kelabu. Aku sadar, Melebur Bersama bukanlah Ruang Bahagia. MB tidak akan pernah bisa menjadi RB, begitupun RB tidak akan pernah bisa menjadi MB. Tapi, sekali lagi aku angkat topi untuk teman-teman Melebur Bersama yang masih berjuang bersama ku sampai detik ini, H-1 pemilihan. Untuk angkatan 2017, percayalah, pemilihan umum komap ini juga baru pertama kali dirasakan oleh angkatan 2015 dan 2016. Maka dari itu, ayo bersama-sama kita tuntaskan nafsu kita dan curi hari esok! Kita Semua Pasti Bisa! dan, Jangan Lupa Bahagia!

Jumat, 22 September 2017

Yang Terdalam

Kota Bandung tidak akan pernah sama lagi tanpamu. Lalu untuk apa aku masih berada disini? Hanya berteman sunyi dan puluhan kendaraan yang masih mengular panjang, juga ada satu lagi. Penyesalanku. Aku sudah lama bisa melepasmu. Aku sudah lama mengangkat tanganku, tanda menyerah. Jika saja apa yang terjadi di kota ini, tidak pernah terjadi.

Bandung. Kau membawa sebuah harapan besar di hidupku. Namun, kau juga membawa sebuah perasaan sedih yang entah sampai kapan bisa aku hilangkan dari hidupku yang menyedihkan. Aku masih ingat bertemu kau, beberapa bulan lalu di kotaku, Jakarta. Aku masih ingat perjumpaan singkat kita di halte Trans Jakarta siang itu. Entah mengapa, aku melihat sosokmu sesempurna itu. Padahal, hanya ada botol air mineral yang menemani mu kala itu. Tidak ada hiasan berlebihan. Aku masih ingat juga raut wajah bingung mu ketika tidak tau rute mana yang harus di tempuh jika ingin sampai di tujuanmu. Dengan penuh perduli, aku membantu mu menunjukkan rute yang benar dan bus apa yang harus kamu naiki. Lalu kamu pergi menaiki bus mu, dan aku menaiki bus ku. Singkat.

Bagai di berkati oleh semesta, minggu depannya, aku bertemu denganmu lagi. Kali ini di kampus ku. Belakangan aku tahu, kau adalah seorang mahasiswi baru yang berasal dari Surabaya. Kita memang berbeda fakultas, namun fakultas kita terletak di tempat yang berdekatan. Beruntung, kau masih mengingatku, sebagai lelaki yang menolongmu di halte transjakarta. Kemudian, kau mulai menyebutku dengan nama lain. Ya, dengan namaku sendiri setelah perkenalan kita sore itu. sebelum kau berlalu dengan teman-temanmu.

Tidak butuh waktu lama untuk ku mencari kontakmu dan kemudian menghubungimu. Responmu? Aku tidak terlalu bisa menerka apa maksud dibalik sebuah sikap, tapi menurutku, dimatamu aku masih seorang asing yang kebetulan saja pernah menolongmu. Oke, tidak masalah. Untuk bisa mengobrol denganmu di dunia maya saja bagiku sudah cukup. Setelah sekian lama aku mencintai kesendirian dan kebebasan, aku ingin mengakhiri itu denganmu. Saat pertama melihatmu, aku sudah yakin, jika ada kesempatan, aku ingin serius denganmu. Tidak ada tempat untuk main-main.

Senangnya, akhirnya dinding itu runtuh. Lama kelamaan, kau mulai terbuka denganku. Dan akhirnya, beberapa kali kita disatukan oleh dua gelas kopi dan megah nya Jakarta di tengah kepadatan. Semua terasa indah bagiku dan aku harap bagimu juga. Ternyata kau tidak se kaku itu, dan ternyata, kata-kata yang keluar dari mulutku dan mulutmu bisa tersambung menjadi kalimat-kalimat panjang yang seringnya, membuat kita lupa waktu.

Dua minggu kedepan, aku dan teman-temanku akan berangkat ke Bandung untuk take sebuah film pendek. Bahagia nya, kau ingin ikut denganku. Sudah lama tidak pergi ke Bandung, katamu. Sedihnya, seseorang dari masa lalu mu tiba-tiba datang menyapa dirimu yang ternyata masih bimbang. Temanmu menyuruhku untuk berhenti, kata hati ku pun berkata demikian.Akhirnya, di malam itu, ditemani segelas kopi dan belasan batang rokok, aku memutuskan untuk berhenti. Bandung hanya menjadi tentangku, bukan menjadi tentang kita.

Namun, menyerahku hanya berhenti sampai disitu. Sore itu, kau mendatangiku dengan seulas senyum. Bandung? katamu. Maka jadilah, keesokan hari nya, kau duduk bersamaku di kursi belakang mobil yang aku dan teman-temanku sewa. Mendengarkan lagu dengan satu alat yang sama. Kepalamu bersandar di pundak ku.

Bandung hari-hari itu menjadi tempat yang indah. Tidak terhitung berapa taman yang kita tinggalkan jejak kenangan. Canda tawa tak terlepas dari kenangan itu. Hujan turun dari langit, meninggalkan harum tanah yang indahnya, kita hirup berdua. Dan malam itu, kita habiskan di sebuah tempat indah yang tak pernah terbayangkan akan aku datangi bersama seorang yang spesial di hidupku. Yang baru aku temui beberapa bulan yang lalu di halte itu. Malam itu, kau ceritakan segalanya tentang hidupmu. Aku pun begitu. Kalau boleh aku meminta kepada Tuhan untuk memanjangkan malam itu, maka malam itu akan berlangsung selamanya. Dirimu begitu indah, mengalahkan gugusan bintang diatas sana. Besok, aku akan mengungkapkan semua rasa. Sebelum terlambat.

"Selamat malam." Kataku ketika mengantarmu di pintu kamarmu di sebuah hotel bintang tiga tempat ku dan teman-temanku juga bermalam.
"Malam juga, selamat tidur ya. Mimpi indah." Katamu. Dan kau masih tersenyum sesaat sebelum pintu kamar itu tertutup, memisahkan kita.

Paginya, dengan semangat aku mengirimimu pesan dan bertanya apakah kau sudah bangun atau belum. Tidak ada jawaban. Maka dari itu, aku buru-buru bergegas membersihkan tubuhku dan berusaha tampil semenarik mungkin untuk bertemu denganmu. Namun, apa yang aku temui? Petugas kebersihan di kamarmu. Pemilik kamar ini sudah pergi, katanya. Bimbang dan bingung. Dengan perasaan gelisah, aku mencoba menghubungi mu untuk memastikan semua nya. Tidak ada jawabannya. Aku coba membuka aplikasi berbagi foto dan menuliskan namamu disana. Apa yang aku temukan? Foto mu dengan seseorang dari masa lalumu. Ya, ketakutanku sebelum Bandung terbukti. Kau belum sepenuhnya melupakan dia, dan aku adalah korbannya. Kau sengaja mengucapkan selamat tidur dan pergi. Kau sengaja meninggalkan kenangan indah untuk kemudian kamu nodai dengan banyak luka yang datang bertubi-tubi.

Apa yang salah denganku? Apakah perbincangan malam itu di tempat terindah Bandung menyinggung perasaanmu? Jika kau ingin meninggalkanku, kenapa harus ada Bandung? Jika Bandung itu tidak pernah ada, luka yang aku dapatkan tidak separah ini. Jika sore itu kau tidak datang meminta Bandung kepadaku, tidak akan ada harapan dan mimpi yang terlanjur aku dengungkan dan teriakkan.

Kau telah tinggalkan hati yang terdalam. Maaf, akhirnya aku benar-benar berhenti. Bukannya aku mudah menyerah, tapi bijaksana.

Rabu, 20 September 2017

Sajak Singkat Tanpa Rasa Hangat

Tanpamu hari ini
Dan tanpamu esok hari
Aku bagaikan sebuah anak panah tak bertuju
Sendiri, hilang, dan kacau

Dimana ada rindu, disitu ada semu
Ada gerombolan merpati putih pergi menjauh
Membawa kalimat rindu seorang pecinta sendu
Perih, ada sayap yang patah di bangku taman itu

Hariku sepi, pelabuhanku sunyi
Didalam maknaku, kau tetap pergi
Sementara jembatan di depanku mulai rubuh
Sehingga inginku tidak terhubung dengan ragamu

Kau boleh pergi menjauh, dan aku rela
Namun, ijinkanku denganmu dalam peluk
Agar dapat aku rasa bahagia dalam cintamu
Sebentar saja, sebelum kau memilih dia



Muhammad Reno Fandelika
20 September 2017, 16:30

Analogi Patah Hati

Akhirnya aku menemukannya! Sebuah istana megah yang taj berpenghuni. Konon katanya, semua barang-barang disana terbuat dari emas. Di gudang nya, tertumpuk segala harta peninggalan awal peradaban sampai abad pertengahan. Makadari itu, tak sabaraku melangkah mendekati istana itu. Hidupku pasti akan sempurna jika berada di dalam istana!

Saat sudah di bibir istana, tidak aku temukan jalan naik. Hanya ada tembok besar. Maka ku putuskan pergi berkeliling. Sayangnya, tak juga kutemukan jalan. Hanya ada sebuah tembok yang strukturnya berbeda dari tembok kebanyakan, tembok ini sedikit miring. Maka aku putuskan mendaki melalui tembok yang miring itu. Berat sekali, jauuuuh sekali. Bahkan, beberapa kali aku terperosok. Tapi tidak apa-apa, demi kebahagiaan yang hakiki.

Pernah beberapa kali aku ingin menyerah mendaki nya. Namun, setiap kali aku putuskan menyerah, selalu aku temukan alasan ku untuk mendaki kembali. Selalu seperti itu. Sampai di satu titik, aku merasa sudah tidak ada jalan lagi. Akhirnya aku putuskan untuk melepaskan genggaman dan aku meluncur turun dengan bebasnya. Bahagia ku bukan di istana itu, pikirku. Lucunya, saat aku meluncur turun, aku justru terperosok ke sebuah jalan kecil yang sedari tadi tidak aku temukan.

Aku tersungkur kemudian bangkit berdiri. Ketika pandanganku sudah bisa menyesuaikan, mataku langsung berbinar! Bagaimana tidak, ternyata ada jalan yang jauh lebih mudah! Sebuah tangga emas menuju pintu gerbang istana yang terbuka sedikit. Karpet merah sudah menyambutku disana. Inikah kesempatan kedua ku?

Dengan penuh semangat, aku berlari menuju tangga itu. Ternyata jauh juga, membutuhkan waktu 10 menit berlari untuk bisa menyentuh anak tangga pertama. Sementara karpet merah masih berpuluh-puluh anak tangga disana.

Bagai anak kecil yang dibelikan mainan kesukaan, aku kegirangan. Aku melonjak-lonjak, merasa hidupku akan bahagia selamanya. Kemudian aku berlari dengan semangatnya. Bahkan, beberapa kali aku masih meloncat kegirangan. Beberapa langkah lagi aku akan menginjak karpet merah, yang artinya, langkahku akan semakin terhormat menuju pintu gerbang istana. Maka, aku coba menghentikan lari ku sejenak dan mengelus tangga emas itu lalu merogoh saku ku. Aku menemukan pisau pahat. Dengan penuh kebodohan aku mencoba memahat namaku disana.

Tapi apa yang terjadi? Kumpulan anak tangga emas itu perlahan rubuh. Hingga aku harus menerima kenyataan bahwa tidak ada lagi penghubung yang tersisa antara bukit tembok tadi dan pintu gerbang istana. Hancur, semua usahaku hancur. Bahagiaku pun ikut hancur. Tak pernah ada lagi penghubung antara diriku dan istana megah. Pahitnya, semua karena egoku.


Muhammad Reno Fandelika
16 September 2017, 09:22

Sabtu, 02 September 2017

Rindu?

Percayalah, kamu tidak rindu dia. Kamu hanya rindu ketika jam 2 pagi kamu tidak terlelap, dia yang dahulu ada menemani mu. Kamu hanya rindu ketika kamu lelah dengan hidupmu yang membosankan, dia datang memberi warna dan semangat baru.

Kamu tidak rindu dengan sosoknya, kamu hanya ingin merasakannya lagi, ketika waktu istirahatmu di taman sekolah diisi dengan canda tawa penuh makna yang sampai sekarang tidak pernah kamu rasa lagi sejak kau meninggalkannya.

Engkau persetan dengan dia, kecuali senyumnya ketika memberi mu minuman dan segelas semangat saat kau berjalan keluar dari lapangan itu. Rasa mu ke dia sudah lama mati. Namun kenangan yang pernah kalian usahakan bersama tetap hidup, bahkan membayangi langkahmu kemana pun kau menuju.

Panggilan sayang itu hanya aib masa lalu, namun tidak dengan panggilan telepon ketika kau ingin bercerita banyak sembari melepas yang namanya rindu. Kau sudah lama melupakan sosoknya, begitu juga dia yang sudah menemukan penggganti dirimu. Lalu mengapa sebercik keikhlasan yang sejak dahulu kau cari itu tidak pernah kau temukan?

Percayalah, sekali lagi percayalah, kau tidak bisa membasuh luka dengan luka. Kau tidak bisa menumpuk kenangan dalam kenangan, dari orang yang sama. Kau memang tidak rindu dengan dia. Namun, semua itu hanya omong kosong belaka. Pada inti nya, seberapa jauh kau berusaha melupakannya, kau tidak akan pernah benar-benar melupakannya sampai sel-sel dalam otakmu berhenti mereproduksi sesuatu yang bernama kenangan.


Muhammad Reno Fandelika
Minggu, 27 Agustus 2017 23:06

Kamu dan Dia

Gerhana masih singgah di mata nya yang menatap lurus ke dalam mataku yang tidak bisa berpaling dari sosok nya. Gelap. Aku dihujani gelap yang aku nikmati dan aku sebut mimpi. Aku bermimpi dalam kegelapan.

Kemudian di suatu waktu, siang itu datang di tengah gerhana. Terang, sampai-sampai aku merasa selama ini aku tidak hidup. Aku masuk kedalam pesona yang ditawarkan mentari dan berbagai macam hiruk pikuk kehidupan yang ternyata menyeretku terjatuh di sebuah lubang. Tentu saja aku tidak takut akan gelap. Bukannya aku sudah pernah melewati nya? Aku juga tidak takut sempit, gerhana yang tadi sudah terlalu menyempitkan untuk membuatku terbiasa.

Untungnya, lubang yang aku masuki tidak gelap. Jujur saja, aku terkejut. Mana ada lubang yang bermentari? Mana ada lubang yang seluar dunia? Hingga aku merasa, mungkin ini surga ku. Tapi, aku terlalu bodoh untuk menyadari. Lubang ini terlalu dalam. Lebih lagi, bukan hanya aku yang menghuni lubang ini. Bagaimana aku bangkit untuk bernafas? Sementara, saat aku harus terjatuh, aku terjatuh terlalu dalam.

Iya, Gerhana itu sosok nya yang perlahan aku lupakan. Dan lubang itu? Lubang itu tidak pernah ada.

Karena hanya ada kamu.


Muhammad Reno Fandelika
Kamis 10 Agustus 2017 18:42

Pesta

Malam terlalu malam. Dan bising? Terlalu bising. Puluhan manusia menari di depanku, merayakan apa saja yang bisa dirayakan. Pesta, mereka menyebutnya pesta. Apa saja mereka pesta kan. Aku? aku sendiri tidak akan berada di sini jika bukan karena matamu. Iya, kamu. Manusia masih menari, lampu taman itu masih menyala terang. Gugusan bintang membentuk senyum mu. Iya, kamu.

Aku tidak mengingat apapun kecuali purnama yang Tuhan titipkan di wajahmu. Aku tidak memandang ke arah lain selain pusat waktu dunia yang Tuhan tanamkan di gerak gerik mu. Dan aku, tidak mendengar nyanyian lain selain pesan penenang terbaik yang Tuhan anugerahkan dalam tiap nada kicauan mu.

Daun-daun di pohon atas sana masih ikut menari, mengokohkan dahan nya yang kini disinggahi burung hantu. Entahlah, aku tidak tahu sejak kapan burung hantu suka berpesta. Karena yang berpesta di pikiranku dari tadi hanya tawa mu.

Jika aku punya kuasa penuh atas waktu, maka berhentilah waktu saat itu selama berabad-abad. Ya, seorang lelaki aneh yang menyebut diri nya pencinta, sedang menghentikan waktu sekian puluh abad untuk melukiskan sosok mu di kanvas terindah di dunia. Aku ingin, sungguh aku ingin melukiskan diri mu di setiap darah mengalir. Agar apa? Agar aku selalu menyatu dengan segala entitas hidup mu.

Pesta yang aneh, lampu taman sudah berubah menjadi menara persembahan raja. Alunan musik keras tiba-tiba berubah menjadi sebuah orkes mengerikan abad pertengahan. Orkes yang memainkan musik-musik pembantaian. Namun aku tak bergeming. Aku justru tersenyum dan melangkah. Karena kini, aku berhasil menangkap mu dalam pikiranku. Dan untuk saat ini, itu lebih dari cukup.

Muhammad Reno Fandelika
Selasa, 8 Agustus 2017 21:55

Rayakan Sendu

Aku adalah bintang yang menyeduh secangkir kopi
Tanpa gula, namun pakai satu sendok sepi
Dan merayakan anggur
Saat hari sudah mulai gugur

Kata orang, aku selalu jatuh
Merayakan jatuhku adalah doa nya
"Aku tidak akan beranjak", kataku
Karena kepadaku, rumah sudah dipersembahkan

Namun tak bisa kau rasa rumah
Jika masih tertutup kau punya mata
Maka mulai ku buka alam fana
Dimana malam mencumbu senja

Aku adalah bintang yang mulai menyentuh himalaya
Lebarnya sayapku, menyelami maladewa
Kedua kaki ku yang agung, berlari di sahara
Namun hatiku, ia berlabuh di matamu

Disitu, aku tenggelam sedalam-dalam nya

Dari dalam samudera matamu, aku melihat jingga di langit yang tak biru
Atau aku rasa kupu-kupu di dalam tubuhku
Bahwa akhirnya, aku juga jatuh di senyum mu

Aku dengar, ribuan bisik melafal doa
Aku bintang yang sedang jatuh
Dan kau adalah nahkoda bahagia ku
Dan mereka, masih saja berdoa

Aku tertawa
"Kalian manusia tidak pernah mengerti bahagia"
"Bahagiamu fana, karna yang nyata hanya luka"
Sementara tangan yang menggenggam semakin menjadi kita

Kau adalah manusia yang menyeduh semu
Tambah gula dan sesendok rindu
Atau merayakan sendu
Saat hari mulai kelabu


Muhammad Reno Fandelika
Minggu, 6 Agustus 2017 23:12

Selasa, 11 Juli 2017

Pulang Dalam Ingatan

Oleh : Muhammad Reno Fandelika

Aku masih ingat jalanan ibu kota
Juga lalu lintas hati yang ingin pulang kepada pemilik nya
Atau amarah ribuan pasang roda
Menanti pesta mu dihancurkannya

Aku masih ingat langit ibu kota
Dikala mentari masih menjadi penguasa nya
Tersenyum ia sembari merokok polusi ibu kota
Dan manusia yang masih menghamba tahta

Namun aku tidak ingat jalan pulang
Sehingga berdiri aku diantara ragu
Meracau bagai binatang jalang
Kemudian terkunci mulut membisu

Aku tidak ingat jalan pulang
Sehingga kucari pesta dalam ingatan
Kau yang menuangkan ruang
Dan aku yang meminum kebahagiaan

Aku tidak ingat jalan pulang
Namun mulai aku mengingat senja
Disaat kau bersandar dalam fana
Dan aku menatap dalam sebuah kehilangan

Aku memang tidak ingat jalan pulang
Namun semakin lama, aku menemukanmu dalam bayang
Dan semua jejak mu yang tak hilang
Berdiri menuntun ku menuju terang

Kini,

Aku melempar jalan pulang
Karena di kamus ku hanya ada berpetualang
Menanam kenang dalam setiap jalan
Lalu meneriakkan siang pada lampu taman

Aku memang ingat jalanan ibu kota
Aku memang ingat amarah ribuan roda
Aku memang ingat meragu
Aku juga ingat mulut yang membisu

Namun dengan mengingat bayang mu
Juga menelusuri semua jejak mu
Aku menemukan alasan mengapa harus aku melangkah jauh

Artha Gading, 10 Juli 2017 17:20

Senin, 29 Mei 2017

Hidup Adalah Pilihan

Hidup, itu adalah pilihan. Setiap kita membuka mata, selalu saja adalah hal yang harus kita pilih. Apakah itu segera bangkit, atau kembali larut dalam kemalasan?

Di waktu itu, aku menemui pilihanku sendiri. Aku menemui jalan hidupku. Bukan, aku tidak sedang memilih pengharum apa yang akan aku pakai hari itu. Aku juga sedang tidak memilih pakaian apa yang aku kenakan. Jauh, lebih jauh dari itu. Besar, lebih besar dari itu.

Aku sadar, aku berada di zona nyaman. Sejak umurku masih satu hari, satu jam, bahkan satu detik, sejak saat itulah aku berada di zona nyaman. Sangkar emas, mungkin.

Melompat ke bertahun-tahun setelahnya, aku memiliki teman-teman yang baik. Aku berorganisasi dan sebercik keinginan kecil masa sekolah ku terwujud disini. Apalagi? Aku punya teman-teman se hobi. Dan tentu nya yang paling mendasar, aku berada di rumah. Dengan kedua orang tua yang selalu siap sedia setiap hari. Mengedepankan kepentingan keluarga diatas kepentingan sendiri. Aku punya fasilitas. Aku nyaman, aku tenang. Ini rumahku, Jogja adalah rumahku.

Namun seiring berjalannya waktu, yang aku alami tidak sesederhana itu. Ya, hidup itu pilihan dan aku terbawa kesalahan masa lalu ku dalam memilih. Hingga akhirnya? Aku tidak tau mau dibawa kemana hidupku. Oke, aku saat ini berada di zona nyaman. Tapi apakah semua seperti ini? Bagaimana jika suatu saat teman-temanku sudah berjalan masing-masing? Saat rumahku sudah tidak bisa menjadi rumahku lagi? Apakah harus seperti ini? Tidak. Seharusnya, aku mencari bekal.

Hidup adalah pilihan, dan dulu aku memilih untuk apatis. Tidak perduli dengan bekal dimasa depan. Hidup adalah pilihan, dan dulu aku memilih menjadi bodoh. Sampai beberapa waktu yang lalu aku membuat pilihan baru. Pilihan untuk meyakinkan diriku atas pilihan yang akan aku buat. Aku pernah mempunyai keinginan, aku pernah menjadi kan itu mimpi, aku pernah punya jalan mewujudkan keinginan dan mimpiku. Aku pernah ragu, kemudian, aku pernah yakin. Hingga suatu ketika, semua "pernah" ku hancur. Menjadi suatu ketidakpernah-an dan kemusnahan diriku.

Lalu aku kembali ke titik awal pilihan salahku. Aku kembali menjadi bodoh. Aku kembali terjebak di zona nyaman yang justru akan menyeretku mengikuti arusnya dan aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku kembali tidak mengerti apa yang ingin aku lakukan dalam hidup. Memang, hidup adalah pilihan. Dan aku memilih untuk menyesali pilihanku menjadi bodoh. Lebih jauh dari itu, aku terpaksa memilih terjebak. Terakhir, aku memilih untuk (ingin) hilang. Kemudian muncul lagi di keadaan yang seharusnya raga ku tempati.

Kau dan Kalian

Hina sudah nyamanku
Juga suara pengkhianatan yang membangun tenda dalam kepalaku
Atau sajak perih seorang ayah yang menancap akar dalam hati
Aku adalah kecewa

Kau dan kalian tidak pernah benar-benar menghidupi
Menyiramkan air di tengah kering nya mata menatap
Kau dan kalian hanyalah kata
Dan aku mengucap seolah itu nyata

Sesaat setelah mentari bersemayam di hangat cakrawala
Aku justru bergelut dengan dingin nya aksara
Menanti ada yang tak pernah ada
Mengejar pasti yang tak akan pernah terjadi

Jikalau putih tembok ruang tengah itu menghitam
Juga temaram lampu kamar berbisik
Kau akan temukan aku di antara nya
Menggegam waktu yang mulai meracau

Kau dan kalian hanyalah gelap
Yang mematikan cahaya harap
Yang membiarkanku menari dalam sendiri
Kemudian menyanyiku dalam sepi

Kau dan kalian hanyalah keadaan
Hingga kemudian menjadikanku ketiadaan
Kau dan kalian tidak pernah menjadi jalan
Meskipun aku selalu ingin jauh berjalan

Kau dan kalian tidak bermimpi
Kau dan kalian tidak lelah
Kau dan kalian tidak mengerti
Aku hanyut dan hancur sudah


Selasa, 11 April 2017

Perempuan Yang Menganyam Rindu

Lampu ruang tengah baru saja meredup ketika aku membaca nama mu di dalam layar ponsel. Sesuatu yang sudah jarang aku temui semenjak kita disibukkan dengan urusan kita masing-masing. Untung saja aku belum mulai terlelap atau akan melewatkan perjumpaan kita. Aku rasa aku tidak perlu terlelap untuk menghapus letih karna aku tahu, denganmu semua letih dan bebanku menguap.

"Halo" sapa mu sembari tersenyum. Aku sadar, aku dan kamu terpisah ruang, terpisah jarak ratusan kilometer. Namun, momen seperti ini akan selalu membuat ku merasa mendekap mu.

"Halo" Aku membalas sapa mu dengan lambaian tangan. Engkau masih tersenyum lebar, seakan malam ini hanya ada bahagia yang menghuni kamus mu. Lalu senyum itu... Aku hampir menangis melihat nya setelah beberapa kali putaran jam tak bersua.

Kita mulai membicarakan banyak hal, tentang pekerjaanmu yang melelahkan, contohnya. Tentang kamu yang setiap hari harus bangun lebih pagi dari umumnya manusia, dan pulang lebih larut, Atau tentang perusahaan yang aku kelola, yang setiap hari semakin menunjukkan progress positif.

"Namun keyakinanku bahwa aku memilikimu, lebih dari cukup untuk membuatku menyingkirkan letihku" Ujarmu di akhir cerita.Yang aku aamiini.

Aku juga tak dapat menghentikan senyum ketika kau diujung sana mulai memainkan gitar kesayangan. Gitar yang aku beri kepadamu sebagai kenang-kenangan ketika kita berpisah, setahun yang lalu.

"Mainin dong lagu favorit kita." Pintaku sembari mengambil gitarku dan tanpa menjawab kamu mulai memetik senar-senar itu, memberikan kedamaian di hati, juga rasa rindu yang semerbak membara.

"Kita ini sama ya, hafal banyak banget lagu, tapi kita gak bisa nyanyiin nya. Coba kalo kita berdua jago nyanyi, kita dah kayak Banda Neira atau Endah n Rhesa." Katamu suatu ketika, dan aku tertawa mendengarnya sembari mencubit pipi mu yang menggemaskan.

Maka jadilah malam itu kita berdua menyanyikan lagu favorit kita dengan fals, sangat fals. Namun, tiada yang peduli. Karena ini malam kita. Karena ini milik kita. Suara gitarmu ditambah melodi yang aku berikan melengkapi malam kita.

Namun, bagian favoritku adalah ketika kita berdua dilanda diam. Hanya kedua pasang mata yang bertatap. Mungkin lisan kita tidak mengucapkan kata, namun tatap ini berbicara lebih banyak dari yang mampu diungkapkan kata. Perlahan aku mendengar suara lagu-lagu penuh kerinduan dari seberang sana. Kamu memainkannya di laptopmu untuk mengisi keheningan kita.

Aku teringat jelas dan mungkin akan merekam momen ini seumur hidup. Ketika kamu duduk diatas tempat tidur memandangku, dan aku merebahkan diriku di sofa ruang tengah, memandangmu. Sekali lagi, aku ingin menangis. Merindukanmu. 

"Kok diem aja?" Tanyamu sembari mengikat rambut, saat yang paling sempurna untuk mengambil gambarmu.

"Gak papa, aku suka liat kamu, aku suka liat senyum mu. Aku suka bagaimana teknologi bisa mendekatkan kita seakan kita gak pernah terpisah."

"Dasar cowok gombal." Jawabmu, lalu tertawa, aku juga. Meskipun aku tau, tawa diantara kita hanya untuk menutupi sendu.

Jarum jam sudah semakin menuju kebawah, sinar rembulan sudah meredup perlahan namun baik aku atau kamu tak ingin mengakhiri ini semua. Aku dapat melihat raut mengantukmu, namun itu sama sekali tidak dapat menutupi wajah cantikmu.

"Kamu tidur aja kalo ngantuk, sayang." Ujarku.

"Enggak mau, jarang-jarang kita punya waktu kayak gini." Jawabmu manja.

Lalu waktu berjalan cepat hingga adzan subuh mulai berkumandang, dan tidak ada lagi suara diseberang sana. Kau sudah terlelap, tentu saja. Karena tadi kau memintaku untuk menemanimu hingga terlelap dan aku sudah memenuhi itu. Aku meraba sosokmu pelan, meskipun terhalang layar ponsel. Jariku bergetar, menahan segala emosi yang berkecambuk. Oh Tuhan,...

"Selamat tidur, sayang. Tidur yang nyenyak ya didalam rasa aman dan nyaman mu karena kamu tahu ada orang yang mencintaimu sepenuh hati." Ujarku sembari memutuskan sambungan. Entah kapan kita akan berjumpa, namun aku tahu pasti hati kita selalu berpagut dan saling menghapus luka.

Rabu, 05 April 2017

April

Halo April! Ijinkan aku menyampaikan salamku, atas namamu. Ijinkan juga aku mengarungi waktu, membuat mesin waktu atas namamu, juga lembaran-lembaran foto.

Aku selalu berfikir, bagian memori apa tentangmu? Atau kebahgiaan apa tentangmu?

Apakah itu canda tawa di rumah loteng? Atau sekelompok pemuda yang berlari bahagia di waktu malam tanpa perduli hidup yang membosankan? Ataukah seorang pemuda yang menunggu telefon pintar nya berbunyi dan berharap itu dari pujaan hati yang sudah terlelap menemui sang mimpi? Mungkin ini tentang dua sejoli yang sedang bertanya arti perasaan masing-masing sembari menyembunyikan cinta, malu-malu. Di balik sebuah kisah romansa dilayar kaca.

Apapun itu, wahai April, wahai waktu, terimakasih atas mesin waktu. Terimakasih atas kesempatan untuk menjelajahi waktu itu, sekali lagi. Dan semua rindu dan penyesalan itu, tetap jagalah, karena hidup butuh rasa.

Rabu, 29 Maret 2017

I'll Find You!

Di suatu siang, aku menemukan mu disudut ruangan itu. Memakai sweater merah marun dan hiasan kepala. Tertawa kau berbincang dengan seorang teman. Aku memandangmu sekilas, cantik memang. Namun tak terlalu aku indahkan, hingga pada suatu titik, aku menemukan sesuatu darimu yang membuatku tak bisa berpaling darimu. 

Selepas itu aku mencari tahu tentang dirimu, aku beranikan diri mengadakan berjumpaan-berjumpaan denganmu. Semakin dalam, kedewasaanmu menghanyutkanku. Tidak butuh waktu lama untuk terhanyut lebih dalam. Bahkan semakin dalam. Bagiku, kamu adalah seseorang yang dikirim Tuhan untuk membangkitkanku dari mimpi buruk, lebih jauh dari itu, membangkitkan dari masa-masa kegelapan.

Tidak jelas kenapa akhirnya sosokmu bisa merubahku dalam segala hal yang tak elok rasanya jika aku sebutkan. Namun yang jelas, beberapa kebaikan masuk kedalam hidupku. Sejak aku mengenalmu, aku mulai belajar. Karna sosokmu mendekati sempurna, dewasa, berkarakter, juga berkharisma. Sosok yang kuat, yang tidak bergantung kepada orang lain dan lebih lagi, kamu sosok yang unik, menarik. Aku menghargaimu, jadi aku mulai belajar, memantaskan diri. 

Hal yang paling aku sukai dari sosokmu adalah, kamu membuat aku tidak takut bermimpi. Aku mulai melakukan bermacam-macam cara untuk menggapai dan memantaskan diri. Lebih jauh lagi, aku mulai menetapkan mimpiku dan berusaha mewujudkannya. Hidupku terlihat lebih tertata dan terimakasih untukmu.

Jika aku ditanya, apa yang aku kejar sekarang apakah itu cinta atau cita? Aku akan menjawab, aku sekarang mengejar mimpi dan cita-cita ku. Karna aku percaya ketika aku mengejar mimpi, pasti akan selalu ada cinta didalamnya. Namun jika aku hanya mengejar cinta, belum tentu mimpi dan cita-cita masuk didalamnya.

Terimakasih, sekali lagi terimakasih kepadamu. Mungkin kita tidak banyak bertemu, hanya aku yang selalu berusaha melihatmu. Namun terimakasih, terimakasih atas semua nya. Pandanganku terhadap wanita perlahan-lahan berubah.  Cantik itu banyak, namun hanya sedikit yang berkarakter. Dan kamu, juga karaktermu adalah sebuah keindahan.

Sabtu, 18 Februari 2017

Seperti Rumah Kosong (Tersia-sia)

Semacam menulis dingin diatas api
Menyala deras lalu membeku tapi terbakar lagi
Atau melukis damai ditengah anarki?
Mencoba meredam namun kau mati

Aku adalah pencari
Yang baru saja masuk kedalam jerami
Hanya untuk sebutir pasir
Dan inginku yang menjadi desir

Mungkin aku adalah rembulan yang tertutup oleh sinar mentari dikala siang menyapa hari
Atau bintang di malam hari yang menyala namun tertutup oleh bising kota
Bukan, aku bukan menjadi aku
Bukan pula aku menjadimu

Kucari kau yang tersesat menuju jalan pulang
Perlahan-lahan hingga dalam sadarku kau menghilang
Maka izinkanku mencumbui pagi
Jika kau tak juga kembali di kemudian hari

Bukan, aku bukan menjadi aku
Atau sebuah janji untuk sang waktu
Aku hanyalah sebuah rindu
Untuk kamu yang bahkan tak mengenalku

Oleh : Muhammad Reno Fandelika
Kamis, 9 Februari 2017 05:00
Satu satuan waktu tanpanya.

Selasa, 24 Januari 2017

Sebuah Kasih Untuk Riani

Aku biasa menaruh mimpiku kedalam gelas kaca
Agar bisa aku pandang namun malas aku raba
Kini mimpi dan gelas kacanya sudah berbeda
Semenjak aku menemukan masa depan di sosokmu, dan au mengharapnya

Sedikit samar bagaimana akhirnya dirimu sangat bermakna
Terlalu cepat untuk jatuh cinta, namun sia-sia untuk lupakannya
Mungkin itu tatapmu yang meminta
Atau senyumanmu yang menyentuh hampa

Bermimpi tidak lagi menjadi tabu
Ketika aku mengingatmu dan senyum mu
Terimakasih karena telah menghidupkan mimpi di hidupku
Juga menjagaku untuk selalu menjadi aku yang memang untukmu

Mungkin waktumu tidak banyak
Sudikah kamu membaginya untuk ku sejenak?
Untuk kuwujudkan mimpi menjadi nyata
Lalu aku sempurnakan rasa itu untuk kita berdua

Bisakah kau tenangkan aku?
Dari kehilangan yang semu atas dirimu
Karna kehilanganmu mematikan semangatku
Terlepas semua, bolehkah aku meminta kepadamu?

Tetaplah denganku, tetaplah menungguku
Aku tahu waktu mu tak bisa menunggu
Ribuan sosokpun menginngin kan mu
Tapi tolong, jangan jatuh cinta lagi selain denganku

Berkat semangatmu, aku disini akan mewujudkannya
Untuk kau dan sempurnamu disana
Untuk kasih yang saat ini aku titipkan
Juga masa depan bersamamu yang sudah aku tanamkan

Oleh : Muhammad Reno Fandelika
Rabu, 25 Januari 2017 11:10
Untuk DIA

Jumat, 20 Januari 2017

#Perkenalan

Terkadang, kita harus mendobrak sesuatu untuk mengetahui ada kejutan apa di depan sana. Seperti aku yang harus mendobrak rasa malu ku :')

Video pertama di Youtube

Ehe Ehe

Selasa, 17 Januari 2017

Positif!

Aku percaya jarak antara mimpi, cita-cita, juga realita itu sedekat otak dan hati kita. Dewasa ini aku menyadari, dan mempercayai betul itu. Aku tidak takut bermimpi, aku tidak takut gagal. Sedekat itu realita kita akan berubah menjadi seperti yang kita mimpi kan. Mengapa otak dan hati? Sebagai contoh, aku menginginkan seseorang yang berkebalikan dengan hidupku, jauh. Secara logika? Tidak akan bisa. Namun disinilah peran hati kita. Kita hanya perlu percaya pada diri kita sendiri. Mimpi itu sedekat otak dan hati. Otak dan hati. Bayangkan jika pada akhirnya otak mu tunduk kepada hatimu. Banyangkan impianmu, mimpi besarmu nyata dan kau ada disana, mengontrol semua nya. Percaya pada dirimu.

"Posisi itu besok bakal aku dapetin."
"Aku besok bakal menangin itu."
"Aku besok bakal dapetin dia."
"Aku besok bakal blablabla"

Mulai lah dengan kata-kata positif dan penuh keyakinan. Mengutip kata-kata YoungLex, yang mungkin banyak yang tidak menyukainya, namun dibalik itu semua Ia bermain positif, bisa tercermin dari kata-kata nya
"Gue ngelakuin ini dari awal, gue udah yakin gue bakal sukses. Kalo lo gak yakin lo bakal sukses, buat apa lo nyoba?" Dan aku sangat setuju oleh kalimat tersebut.

Saat ini, aku sedang jatuh kedalam seseorang yang secara logika tidak akan aku dapatkan. Namun rasa itu justru memotivasiku untuk suatu hari, kata tidak mungkin itu berubah menjadi mungkin, hingga pada akhirnya menjadi realita hidupku. Pun begitu dengan salah satu mimpi besarku. Tinggal bagaimana aku yakin dan percaya kepada diriku sendiri.

Sekali lagi, bayangkanlah ketidak mungkinan mu menjadi kemungkinan sehingga berubah menjadi kenyataan. Lalu kejar, apapun itu.